Friday, January 25, 2013

Tentang pemerintahan

Ibn Khaldun, nama ini begitu mashur dikalangan pemikir dan Ilmuwan Barat. Ia adalah pemikir dan Ilmuwan Muslim yang pemikiranya dianggap murni dan baru pada zamannya. Tak heran ide-idenya tentang masyarakat Arab seperti yang tertuang dalam buku fenomenalnya “muqaddimah” dianggap sebagai bibit dari kelahiran Ilmu Sosiologi. Penelitiannya tentang sejarah dengan menggunakan metode yang berbeda dari penelitian Ilmuwan pada saat itu juga disebut sebagai bibit dari kemunculan Filsafat Sejarah seperti yang ada sekarang. Kehidupannya yang malang melintang di Tunisia (Afrika) dan Andalusia, serta hidup dalam dunia politik tak ayal mendukung pemikirannya tentang Politik serta Sosiologi tajam dan mampu memberikan sumbangsih yang besar pada Ilmu Pengetahuan.
Asal Mula Negara (daulah)
Menurut Ibn Khaldun manusia diciptakan sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan (dharury) (Muqaddimah: 41). Pendapat ini agaknya mirip dengan pendapat Al-Mawardi dan Abi Rabi’. Lebih lanjut, manusia hanya mungkin bertahan untuk hidup dengan bantuan makanan. Sedang untuk memenuhi makanan yang sedikit dalam waktu satu hari saja memerlukan banyak pekerjaan. Sebagai contoh dari butir-butir gandum untuk menjadi potongan roti
memerlukan proses yang panjang. Butir-butir gandum tersebut harus ditumbuk dulu, untuk kemudian dibakar sebelum siap untuk dimakan, dan untuk semuanya itu dibutuhkan alat-alat yang untuk mengadakannya membutuhkan kerjasama dengan pandai kayu atau besi. Begitu juga gandum-gandum yang ada, tidak serta merta ada, tetapi dibutuhkan seorang petani. Artinya, manusia dalam mempertahankan hidupnya dengan makanan membutuhkan manusia yang lain. (Muqaddimah: 42). Selain kebutuhan makanan untuk mempertahankan hidup, menurut Ibn Khaldun manusia memerlukan bantuan dalam hal pembelaan diri terhadap ancaman bahaya. Hal ini karena Allah ketika menciptakan alam semesta telah membagi-bagi kekuatan antara makhluk-makhluk hidup, bahkan banyak hewan-hewan yang mempunyai kekuatan lebih dari yang dimiliki oleh manusia. Dan watak agresif adalah sesuatu yang alami bagi setiap makhluk. Oleh karenanya Allah memberikan kepada masing-masing makhluk hidup suatu anggota badan yang khusus untuk membela diri. Sedang manusia diberikan akal atau kemampuan berfikir dan dua buah tangan oleh Tuhan. Dengan akal dan tangan ini manusia bisa mempertahankan hidup dengan berladang, ataupun melakukan kegiatan untuk mempertahankan hidup lainya. Tetapi sekali lagi untuk mempertahankan hidup tersebut manusia tetap saling membutuhkan bantuan dari yang lainnya, sehingga organisasi kemasyarakatn merupakan sebuah keharusan. Tanpa organisasi tersebut eksistensi manusia tidak akan lengkap, dan kehendak Tuhan untuk mengisi dunia ini dengan ummat manusia dan membiarkannya berkembang biak sebagai khalifah tidak akan terlaksana (Muqaddimah: 43). Setelah organisasi masyarakat terbentuk, dan inilah peradaban, maka masyarakat memerlukan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat betindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota masyarakat. Ini karena manusia mempunyai watak agresif dan tidak adil, sehingga dengan akal dan tangan yang diberikan Tuhan padanya tidak memungkinkan untuk mempertahankan diri dari serangan manusia yang lain karena setiap manusia mempunyai akal dan tangan pula. Untuk itulah diperlukan sesuatu yang lain untuk menangkal watak agresif manusia terhadap lainnya. Ia adalah seseorang dari masyarakat itu sendiri, seorang yang berpengaruh kuat atas anggota masyarakat, mempunyai otoritas dan kekuasaan atas mereka sebagai pengendali/ wazi’ (الوازع). Dengan demikian tidak akan ada anggota masyarakat yang menyerang sesama anggota masyarakat lain. Kebutuhan akan adanya seseorang yang mempunyai otoritas dan bisa mengendalikan ini kemudian meningkat. Didukung dengan rasa kebersamaan yang terbentuk bahwa seorang pemimpin (rais) dalam mengatur dan menjadi penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal, perdana Menteri, serta pembantu-pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah Dinasti (daulah) atau kerajaan (mulk). (Muqaddimah: 139). Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini agaknya mirip dengan yang dikemukakan oleh Aristoteles, Farabi, Ibn Abi Rabi’, al-Mawardi. Sehingga pemikirannya dalam hal ini bukan hal baru, meskipun ia sendiri mengatakan bahwa teorinya ini adalah yang baru. Tetapi yang membedakannya bahwa penelitian yang dilakukan Ibn Khaldun dalam Muwaddimahnya bukan sekadar kajian filososif, melainkan kajian yang berdasarkan pada pengamatan Inderawi dan analisis perbandingan data-data yang obyektif, sebagai upaya untuk memahami manusia pada masa lampau dan kini untuk meramalkan masa depan dengan berbagai kecenderungannya.
Sosiologi Masyarakat: Peradaban Badui, Orang Kota, dan Solidaritas Sosial
Selain apa yang telah dipaparkan di atas, Ibn Khaldun berpendapat bahwa ada faktor lain pembentuk Negara (daulah), yaitu ‘ashabiyah (العصبـيّة). Teorinya tentang ‘ashabiyah inilah yang melambungkan namanya dimata para pemikir modern, teori yang membedakannya dari pemikir Muslim lainnya. ‘Ashabiyah mengandung makna Group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme, atau sentimen sosial. Yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau disakiti. Ibn Khaldun dalam hal ini memunculkan dua kategori sosial fundamental yaitu Badawah (بداوة)(komunitas pedalaman, masyarakat primitif, atau daerah gurun) dan Hadharah (حضارة)(kehidupan kota, masyarakat beradab). Keduanya merupakan fenomena yang alamiah dan Niscaya (dharury) (Muqaddimah: 120). Penduduk kota menurutnya banyak berurusan dengan hidup enak. Mereka terbiasa hidup mewah dan banyak mengikuti hawa nafsu. Jiwa mereka telah dikotori oleh berbagai macam akhlak tercela. Sedangkan orang-orang Badui, meskipun juga berurusan dengan dunia, namun masih dalam batas kebutuhan, dan bukan dalam kemewahan, hawa nafsu dan kesenangan (Muqaddimah: 123). Daerah yang subur berpengaruh terhadap persoalan agama. Orang-orang Badui yang hidup sederhana dibanding orang-orang kota serta hidup berlapar-lapar dan meninggalkan makanan yang mewah lebih baik dalam beragama dibandingkan dengan orang yang hidup mewah dan berlebih. Orang-orang yang taat beragama sedikit sekali yang tinggal di kota-kota karena kota telah dipenuhi kekerasan dan masa bodoh. Oleh karena itu, sebagian orang yang hidup di padang pasir adalah orang zuhud. Orang Badui lebih berani daripada penduduk kota. Karena penduduk kota malas dan suka yang mudah-mudah. Mereka larut dalam kenikmatan dan kemewahan. Mereka mempercayakan urusan keamanan diri dan harta kepada penguasa. Sedangkan orang Badui hidup memencilkan diri dari masyarakat. Mereka hidup liar di tempat-tempat jauh di luar kota dan tak pernah mendapatkan pengawasan tentara. Karena itu, mereka sendiri yang mempertahankan diri mereka sendiri dan tidak minta bantuan pada orang lain (Muqaddimah: 125). Untuk bertahan hidup masyarakat pedalaman harus memiliki sentimen kelompok (‘ashabiyyah) yang merupakan kekuatan pendorong dalam perjalanan sejarah manusia, pembangkit suatu klan. Klan yang memiliki ‘ashabiyyah kuat tersebut dapat berkembang menjadi sebuah negeri (Muqaddimah: 120). Sifat kepemimpinan selalu dimiliki orang yang memiliki solidaritas sosial. Setiap suku biasanya terikat pada keturunan yang bersifat khusus (khas) atau umum (‘aam). Solidaritas pada keturunan yang bersifat khusus ini lebih mendarah-daging daripada solidaritas dari keturunan yang bersifat umum. Oleh karena itu, memimpin hanya dapat dilaksanakan dengan kekuasaan. Maka solidaritas sosial yang dimiliki oleh pemimpin harus lebih kuat daripada solidaritas lain yang ada, sehingga dia memperoleh kekuasaan dan sanggup memimpin rakyatnya dengan sempurna. Solidaritas sosial menjadi syarat kekuasaan (Muqaddimah: 131). Di dalam memimpin kaum, harus ada satu solidaritas sosial yang berada di atas solidaritas sosial masing-masing individu. Sebab, apabila solidaritas masing-masing individu mengakui keunggulan solidaritas sosial sang pemimpin, maka akan siap untuk tunduk dan patuh mengikutinya (Muqaddimah: 132). Bangsa-bangsa liar lebih mampu memiliki kekuasaan daripada bangsa lainnya. Kehidupan padang pasir merupakan sumber keberanian. Tak ayal lagi, suku liar lebih berani dibanding yang lainnya. Oleh karena itulah, mereka lebih mampu memiliki kekuasaan dan merampas segala sesuatu yang berada dalam genggaman bangsa lain. Sebabnya, adalah karena kekuasaan dimiliki melalui keberanian dan kekerasan. Apabila di antara golongan ini ada yang lebih hebat terbiasa hidup di padang pasir dan lebih liar, dia akan lebih mudah memiliki kekuasaan daripada golongan lain (Muqaddimah: 138). Pendapat Ibn khaldun dalam hal ini tidak mengherankan, karena beliau melakukan penelitian pada masyarakat ‘Arab dan Barbar khususnya yang memang menjalani kehidupan sukar dipadang pasir. Tujuan terakhir solidaritas adalah kedaulatan. Karena solidaritas sosial itulah yang mempersatukan tujuan; mempertahankan diri dan mengalahkan musuh. Begitu solidaritas sosial memperoleh kedaulatan atas golongannya, maka ia akan mencari solidaritas golongan lain yang tak ada hubungan dengannya. Jika solidaritas sosial itu setara, maka orang-orang yang berada di bawahnya akan sebanding. Jika solidaritas sosial dapat menaklukan solidaritas lain, keduanya akan bercampur yang secara bersama-sama menuntun tujuan yang lebih tinggi dari kedaulatan. Akhirnya, apabila suatu negara sudah tua umurnya dan para pembesarnya yang terdiri dari solidaritas sosial sudah tidak lagi mendukungnya, maka solidaritas sosial yang baru akan merebut kedaulatan negara. Bisa juga ketika negara sudah berumur tua, maka butuh solidaritas lain. Dalam situasi demikian, negara akan memasukkan para pengikut solidaritas sosial yang kuat ke dalam kedaulatannya dan dijadikan sebagai alat untuk mendukung negara. Inilah yang terjadi pada orang-orang Turki yang masuk ke kedaulatan Bani Abbas (Muqaddimah: 139-140). Aka tetapi hambatan jalan mencapai kedaulatan adalah kemewahan. Semakin besar kemewahan dan kenikmatan mereka semakin dekat mereka dari kehancuran, bukan tambah memperoleh kedaulatan. Kemewahan telah menghancurkan dan melenyapkan solidaritas sosial. Jika suatu negara sudah hancur, maka ia akan digantikan oleh orang yang memiliki solidaritas yang campur di dalam solidaritas sosial (Muqaddimah: 140). Menurut Ibn Khaldun apabila suatu bangsa itu liar, kedaulatannya akan sangat luas. Karena bangsa yang demikian lebih mampu memperoleh kekuasaan dan mengadakan kontrol secara penuh dalam menaklukan golongan lain (Muqaddimah: 145). Tujuan akhir dari solidaritas sosial (‘ashabiyyah) adalah kedaulatan. ‘Ashabiyyah tersebut terdapat pada watak manusia yang dasarnya bisa bermacam-macam; ikatan darah atau persamaan keTuhanan, tempat tinggal berdekatan atau bertetangga, persekutuan atau aliansi, dan hubungan antara pelindung dan yang dilindungi. Khusus bangsa Arab menurut Ibn Khaldun, persamaan Ketuhananlah yang membuat mereka berhasil mendirikan Dinasti. Sebab menurutnya, Bangsa Arab adalah Bangsa yang paling tidak mau tunduk satu sama lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing-masing ingin menjadi pemimpin. ‘Ashabiyyah yang ada hanya ‘ashabiyyah kesukuan/qabilah yang tidak memungkinkan mendirikan sebuah dinasti karena sifat mereka. Hanya karena Agama yang dibawa oleh Nabi mereka akhirnya bisa dipersatukan dan dikendalikan (Muqaddimah: 151). Tetapi menurutnya pula, bahwa motivasi Agama saja tidak cukup sehingga tetap dibutuhkan solidaritas kelompok (‘ashabiyyah). Agama dapat memperkokoh solidaritas kelompok tersebut dan menambah keampuhannya, tetapi tetap ia membutuhkan motivasi-mativasi lain yang bertumpu pada hal-hal diluar Agama (Muqaddimah: 159). Homogenitas juga berpengaruh dalam pembentukan sebuah Dinasti yang besar. Adalah jarang sebuah Dinasti dapat berdiri di kawasan yang mempunyai beragam aneka suku, sebab dalam keadaan demikian masing-masing suku mempunyai kepentingan, aspirasi, dan pandangan yang berbeda-beda sehingga kemungkinan untuk membentuk sebuah Dinasti yang besar merupakan hal yang sulit. Hanya dengan hegemonitas akan menimbulkan solidaritas yang kuat sehingga tercipta sebuah Dinasti yang besar (Muqaddimah: 163). Dalam kaitannya tentang ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun menilai bahwa seorang Raja haruslah berasal dari solidaritas kelompok yang paling dominan. Sebab dalam mengendalikan sebuah negara, menjaga ketertiban, serta melindungi negara dari ancaman musuh baik dari luar maupun dalam dia membutuhkan dukungan, loyalitas yang besar dari rakyatnya. Dan hal ini hanya bisa terjadi jika ia berasal dari kelompok yang dominan.
Khilafah, Imamah, Sulthanah
Khilafah menurut Ibn Khaldun adalah pemerintahan yang berlandaskan Agama yang memerintahkan rakyatnya sesuai dengan petunjuk Agama baik dalam hal keduniawian atau akhirat. Maka pemerintahan yang dilandaskan pada Agama disebut dengan Khilafah, Imamah atau Sulthananh. Sedang pemimpinnya disebut Khalifah, Imam atau Sulthan. Khilafah adalah pengganti Nabi Muhammad dengan tugas mempertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan dunia. Lembaga imamah adalah wajib menurut hukum agama, yang dibuktikan dengan dibai’atnya Abu Bakar sebagai khalifah. Tetapi ada juga yang berpendapat, imamah wajib karena akal/ perlunya manusia terhadap organisasi sosial. Namun hukum wajibnya adalah fardhu kifayah (Muqaddimah: 191-193). Ibn Khaldun sendiri menetapkan 5 syarat bagi khalifah, Imam, ataupun Sulthan, yaitu: 1. Memiliki pengetahuan. 2. Memiliki sifat ‘adil. 3. Mempunyai kemampuan. 4. Sehat Panca indera dan badannya. 5. Keturunan Quraisy. Berdasarkan teori ‘ashabiyah, Ibn Khaldun berpendapat sama dengan Pemikir Muslim sebelumnya tentang keutamaan keturunan Quraisy. Ia mengemukakan bahwa orang-orang Quraisy adalah pemimpin-pemimpin terkemuka, original dan tampil dari bani Mudhar. Dengan jumlahnya yang banyak dan solidaritas kelompoknya yang kuat, dan dengan keanggunannya suku Quraisy memiliki wibawa yang tinggi. Maka tidak heran jika kepemimpinan Islam dipercayakan kepada mereka, sebab seluruh bangsa Arab mengakui kenyataan akan kewibawaannya, serta mereka hormat pada keunggulan suku Quraisy. Dan jika kepemimpinan dipegang oleh suku lain, maka yang terjadi adalah pembangkangan serta berujung pada kehancuran. Padahal Nabi menginginkan persatuan, solidaritas, dan persaudaraan (Muqaddimah: 194). Tetapi menurut Ibn Khaldun hal ini jangan diartikan bahwa kepemimpinan itu dimonopoli oleh suku Quraisy, atau syarat keturunan Quraisy didahulukan daripada kemampuan. Ini hanya didasarkan pada kewibawaan dan solidaritas yang tinggi pada suku Quraisy pada saat itu, hingga ketika suku Quraisy telah dalam keadaan tidak berwibawa, atau ada suku lain yang mempunyai ‘ashabiyyah yang tinggi dan kebibawaan yang tinggi, dan juga kepemimpinan dari suku Quraisy sudah tidak dapat lagi diharapkan, maka kepemimpinan dapat berpindah ke suku atau kelompok lain yang mempunyai kewibawaan, solidaritas, dan kemampuan yang lebih. Pemikiran Ibn Khaldun dalam hal ini mirip dengan pemikiran Al-Mawardi ataupun Ghazali, bahwa khalifah haruslah dari golongan Quraisy. Tetapi Ibn Khaldun merealisasikannya dengan teori ‘Ashabiyyah seperti dijelaskan di atas.
Bentuk-Bentuk Pemerintahan
Ibn Khaldun berpendapat bentuk pemerintahan ada 3: 1. Pemerintahan yang natural (siyasah thabi’iyah), yaitu pemerintahan yang membawa masyarakatnya sesuai dengan tujuan nafsu. Artinya, seorang raja dalam memerintah kerajaan (mulk) lebih mengikuti kehendak dan hawa nafsunya sendiri dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat yang akibatnya rakyat sukar mentaati akibat timbulnya terror, penindasan, dan anarki. Pemerintahan jenis ini pada zaman sekarang menyerupai pemerintahan otoriter, individualis, otokrasi, atau inkonstitusional. 2. Pemerintahan yang berdasarkan nalar (siyasah ‘aqliyah), yaitu pemerintahan yang membawa rakyatnya sesuai dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudharatan. Pemerintahan yang berasaskan Undang-undang yang dibuat oleh para cendekiawan dan orang pandai. Bentuk Pemerintahan seperti ini dipuji disatu sisi tetapi dicela disatu sisi. Pemerintahan jenis ini pada zaman sekarang serupa dengan pemerintahan Republik, atau kerajaan insitusional yang dapat mewujudkan keadilan sampai batas tertentu. 3. Pemerintahan yang berlandaskan Agama (siyasah Diniyyah), yaitu pemerintahan yang membawa semua rakyatnya sesuai dengan tuntunan agama, baik yang bersifat keduniawian maupun keukhrawian. Menurut Ibn Khaldun model pemerintahan seperti inilah yang terbaik, karena dengan hukum yang bersumber dari ajaran Agama akan terjamin tidak saja keamanan dan kesejahteraan di dunia tetapi juga di akhirat. Dan karena yang dipakai sebagai asas kebijaksanaan pemerintahan itu adalah ajaran Agama, khususnya Islam, maka kepala Negara disebut Khalifah dan Imam. Khalifah, oleh karena ia adalah pengganti Nabi dalam memelihara kelestarian Agama dan kesejahteraan duniawi rakyatnya. Imam, karena sebagai pemimpin dia ibarat Imam Salat yang harus diikuti oleh rakyatnya sebagai makmum (Muqaddimah: 191). Dari pembagian pemerintahan di atas, nampak bahwa Ibn Khaldun menempuh jalur baru dibanding Al-Farabi dan Ibn Abi Rabi’ dalam pengklasifikasian pemerintahan. Ia tidak memandang pada sisi personalnya, juga pada jabatan Imam itu sendiri, melainkan pada makna fungsional keimamahan itu sendiri. Sehingga menurutnya substansi setiap pemerintahan adalah undang-undang yang menjelaskan karakter suatu sistem pemerintahan.
Tahapan Timbul Tenggelamnya Peradaban
Berdasarkan teorinya ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu: (Muqaddimah: 175). 1.Tahap sukses atau tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (`ashabiyyah) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya. 2.Tahap tirani, tahap dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut. Penguasa menutup pintu bagi mereka yang ingin turut serta dalam pemerintahannya. Maka segala perhatiannya ditujukan untuk kepentingan mempertahankan dan memenangkan keluarganya. 3.Tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara. 4.Tahap kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya. 5.Tahap hidup boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya. Tahap-tahap itu menurut Ibnu Khaldun memunculkan tiga generasi, yaitu: 1. Generasi Pembangun, yang dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas kekuasaan yang didukungnya. 2. Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara. 3. Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa memedulikan nasib negara. Jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi ketiga ini, maka keruntuhan negara sebagai sunnatullah sudah di ambang pintu, dan menurut Ibnu Khaldun proses ini berlangsung sekitar satu abad. Ibn Khaldun juga menuturkan bahwa sebuah Peradaban besar dimulai dari masyarakat yang telah ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan. Keinginan hidup dengan makmur dan terbebas dari kesusahan hidup ditambah dengan ‘Ashabiyyah di antara mereka membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian memunculkan sebuah peradaban baru. Dan kemunculan peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain (Muqaddimah: 172). Tahapan-tahapan di atas kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal dengan Teori Siklus.
////////////////////////////////////////////////////////////////////////////

Dalam buku The Origin and Development of Muslim Historiography,karangan M.G Rasul,dikutip pendapat seorang intelektual Barat,Rogert Flint yang mengatakan,Thomas Hobbes,John Locke,dan Rousseau bukanlah tandingan Ibn Khaldun.Bahkan ,lanjutnya,nama-nama ini tidak layak disebut bersama namanya.Montgomery Watt mengungkapkan kesannya terhadap Khaldun,bahwa karyanya dalam bidang sosiologi merupakan kelanjutan dari pemikiran Ibn Rusyd tentang fungsi agama dan negara.Seakan-akan menambah luas posisi Ibn Khaldun di bidang ilmu pengetahuan sosial dan agama,Bernard Lewis - seorang Orientalis Yahudi – menempat Ibnu Khaldun tidak saja sebagai sejarawan Arab terbesar,bahkan sebagai pemikir sejarah terbesar pada abad-abad pertengahan.

Ibn khaldun lahir di Tunisia pada tanggal 27 Mei 1332 ( 1 Ramadhan 732 ) dengan nama lengkap Waliyuddin Abdurrahman bin Muhammad bin Muhammad bin Abi bakar Muhammad Bin Al-Hasan.Keluarganya berasal dari Hadramaut (sekarang wilayah Yaman) dan silsilahnya sampai kepada seorang sahabat Nabi Muhammad saw bernama Wail bin Hujr dari kabilah Kindah.Sewaktu kecil,Ibn Khaldun telah menghapal al-Qur’an dan mempelajari tajwid yang diajarkan oleh ayahnya sendiri.Beliau juga mempelajari ilmu-ilmu lain seperti ; Tafsir,Hadist,Ushul fiqh, Tauhid,Dan fiqh mazhab Maliki.Ia juga mempelajari ilmu-ilmu bahasa ( nahwu,sharaf,serta balaghah ), fisika,dan matematika.Ia selalu mendapatkan nilai yang memuaskan dari gurunya.Khaldun mulai masuk ke dunia politik dan pemerintahan ketika para pemimpin tunis hijrah ke Maroko.Pada tahun 1350 M (751 H),dalam usia 21 tahun ,ia diangkat menjadi sekretaris Sultan dinasti Hafs.Sejak saat itu lika-liku kehidupan dan karir politiknya mengalami pasang surut sampai pada tahun 1374 M (776 H) dia mengundurkan diri dari dunia politik.Ia menyepi k eke daerah Qal’at Ibnu Salamah dan menetap disana sampai tahun 1378 M (780 H).Disinilah ia mengarang kitab monumentalnya berjudul “ Kitab al-‘ibar wa Diman al_mubtada’ wa al-Khabar fi ‘Ibar” (sejarah umum).Kitab setebal 7 jilid ini berisi kajian sejarah, yang didahului dengan Muqaddimah (jilid 1) yang berisi pembahasan tentang problematika social manusia (sosiologi).Kitab Muqaddimah itu sendiri pada akhirnya berhasil menjadi pembuka jalan menuju pembahasan ilmu-ilmu social manusia,oleh karena itu dalam ilmu sejarah islam,Ibn Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu social dan politik islam.

Pada tahun 780 H (1378 M) ,khaldun kembali ke Tunisia untuk menelaah beberapa kitab sebagai bahan untuk merevisi kitab Al-’Ibar.Pada Tahun 784 (1382 M) ia berangkat ke iskandaria (Mesir) untuk menghindari kekacauan politik dinegeri Maghrib (Maroko),setelah sebulan ia pindah ke Kairo.Disini ia memulai karir di bidang ilmu pengetahuan dengan membuka halaqah di Al-Azhar untuk memberi Kuliah.Pada Tahun 786 H, Raja menunjuknya menjadi dosen ilmu fiqh maliki di Madrasah al-Qamhiyah.Pada 801 H ( 1401 M) ia diangkat menjadi ketua pengadilan kerajaan sampai akhir hayatnya.Selama di mesir, ibn Khaldun kembali merevisi kitab al-‘ibar dan menambah pasal kitab Muqaddimah.Peristiwa terbaru ia masukkan demikian juga temuan-temuan ilmiahnya seperti konsep-konsep sosiologis.Ia wafat di Kairo 25 Ramadhan 808 H / 19 Maret 1406.Temuan pentingnya adalah mengenai konsepsi sejarah serta konsep sosilogisnya yang hingga sekarang masih dijadikan bahan utama referensi bagi seluruh ahli sejarah dan sosiologi di Dunia.

Khaldun tentang Sejarah

Kata kunci konsepsi Khaldun tentang sejarah adalah “ ‘Ibaar” yang berarti contoh atau pelajaran moral yang berguna.Kata itu pula yang kemudian digunakan Khaldun sebagai judul buku,di mana ia menuliskan seluruh fikirannya tentang sejarah.Secara terminologis,’ibar, dalam pengertian seluruh bahasa Sempit,berari melalui,melampaui,menyebrang atau melanggar perbatasan,Kelompok Sufi menggunakan kata itu sebagai alat untuk pengembangan dunia batin mereka.Dalam pengertian,untuk melukiskan fungsi spiritual dari semua ungkapan mistik untuk menuju dunia yang lebih jauh(to the world beyond).

Untuk mengetahui posisi sejarah dalam teori Ibn Khaldun,penting difahami defenisi sejarah yang diberikannya.Khaldun melihat ada dua sisi dalam bangunan sejarah,yaitu sisi luar dan sisi dalam.Dari sisi luar,sejarah tak lebih dari rekaman siklus periode dan kekuasaan masa lampau,Tetapi jika dilihat secara lebih mendalam,sejarah merupakan suatu penalaran kritis (nadhar) dan usaha cermat untuk mencari kebenaran;sejarah merupakan suatu penjelasan cerdas tentang sebab-sebab dan asal usul segala sesuatu;ia merupakan suatu pengetahuan yang mendalan tentang bagaimana dan mengapa suatu peristiwa itu terjadi.Definisi tentang sejarah yang demikian membawa Khaldun untuk berpendapat bahwa sejarah itu berakar dalam filsafat (hikmah).Ia pantas dipandang sebagai bagian dari filsafat itu sendiri.

Dengan pertautan sejarah kepada filsafat, Ibn Khaldun nampaknya ingin mengatakan,bahwa sejarah memberikan kekuatan inspiratif dan intuitif kepada filsafat.Di lain pihak,filsafat menawarkan kekuatan logik kepada sejarah.Dengan aset logika kritis seorang sejarawan akan mampu menyaring dan mengkitik sumber-sumber sejarah – tulisan maupun lisan – sebelum ia sampai kepada proses penyajian final dari penyelidikannya.Pandangan inilah yang membawa Khaldun untuk merumuskan “tujuh kritik” dalam historiografi,sebagai cerminan dari sikap kesejarawanannya yang cermat; pertama :sikap memihak kepada pendapat dan madzhab-madzhab tertentu, kedua :terlalu percaya pada pihak yang menukilkan sejarah, ketiga :gagal menangkap maksud-maksud apa yang dilihat dan didengar serta menurunkan laporan atas dasar persangkaan dan perkiraan, keempat :persangkaan benar yang tidak berdasar pada sumber berita, kelima :kelemahan dalam mencocokkan keadaan dengan kejadian yang sebenarnya, keenam :kecendrungan manusia untuk dekat kepada para pembesar dan figur-figur yang berpengaruh, dan ketujuh :ketidaktahuan tentang metoda-metoda kebudayaan.Dengan menggunakan kerangka “tujuh kritik” ini,Khaldun mengkritik berbagai sarjana sejarah,seperti Al-Mas’udi yang dianggap lengah dan mudah mempercayai berita-berita yang tidak masuk akal.

Ibn Khaldun berpendapat,penyelidikan terhadap peristiwa sejarah tidak boleh tidak harus menggunakan berbagai ilmu bantu.Ilmu bantu diistilahkan Khaldun sebagai ilmu kultur (‘ilm al-‘Umran).Ilmu ini berfungsi sebagai alat untuk mencari pengertian tentang sebab-sebab yang mendorong manusia untuk berbuat,melacak akibat-akibat dari perbuatan itu sebagaimana tercermin dalam peristiwa sejarah. Teori kritik sejarah yang dikembangkan Ibn Khaldun,pada dasarnya mendapatkan inspirasi dalam Al-Qur’an.Kenyataan ini, lanjutnya,pernah dikemukakan Iqbal yang mengatakan bahwa Al-Muqaddimah Ibn Khaldun penuh dengan inspirasi Al-Qur’an yang didapatkan pengarangnya.

Agama dan Filsafat

Dalam membahas dua bidang ini – agama dan filsafat - ,Khaldun sebagaimana diungkapkan oleh Ali Audah,perlu untuk melihat apa yang disebut sebagai filsafat ketuhanan, atau yang lebih popular dengan sebutan Ilmu Kalam.Masterpiece Khaldun yang terkenal,Al-Muqaddimah,secara khusus menelaah filsafat ketuhanan ini dalam bab VI.

Ilmu ini ia batasi dengan pengertian sebagai suatu disiplin yang mencakup cara berargumentasi dengan dalil-dalil logika atau dialektika dalam mempertahankan akidah keimanan serta menolak pikiran-pikiran baru yang dalam artian dogma dianggap menyimpang dari keyakinan agama menurut faham ulama salaf (ortodoks) dan kaum Muslimin awal.Betapapun demikian,Khaldun menambahkan bahwa dialektika filsafat tidak mampu membuktikan kebenaran agama,karena agama berada diluar lingkup logika.Disamping itu,dialektika sering mengerut menjadi tak lebih dari semacam permainan retorika dalam bentuknya yang lebih rendah.

Demikian, karenanya,Khaldun dalam setiap pembahasan mengenai Tuhan – filsafat ketuhanan - selalu merujuk pada ajaran-ajaran Al-Qur’an.Seperti pandangannya tentang Tuhan,bagi Khaldun – karena hasil telaahnya terhadap Al-Qur’an – melihat Tuhan sebagai sesuatu tak dapat dipersepsikan,tak dapat dijangkau oleh khayal,perasaan,fikiran dan panca indera.

Demikian ketatnya Khaldun mengikatkan diri pada Al-Qur’an,sehingga seluruh pandangannya tentang filsafat menjadi begitu kritis.Berbeda dengan Ibn Rusyd yang cenderung untuk berspekulasi dalam berfilsafat.Hal ini pula yang merupakan bantahan tegas bahwa Ibn Khaldun terpengaruh oleh aliran skolastik.

Sesungguhnya ,karya Khaldun dalam dunia filsafat – dalam artian professional – hampir hilang oleh kemasyhurannya sebagai seorang sosiolog dan kritikus sejarah.Pandangan-pandangannya tentang filsafat tidak tercermin dalam uraian khusus tentang filsafat,tetapi justru dalam menguraikan metoda-metoda penulisan Sejarah yang terdapat dalam kata pengantarnya dalam Al-Muqaddimah.Namun satu hal yang pasti bahwa dalam kedua bidang ini – agama dan filsafat – Khaldun tetap mempertahankan kekhasannya sebagai pemikir besar,yaitu sikap objektif,rasional dan kritis;tetapi juga merupakan seorang agamawan yang taat – dalam pengertian melihat Al-Qur’an sebagai sumber hukum untuk menimba berbagai pemikiran yang inspiratif.

Negara dan hukum

Dalam bidang kemasyarakatan,khususnya bidang negara dan hukum,Ibn Khaldun, menurut Drs.A.Rahman Zainuddin,MA, selalu memakai satu ciri khas,yaitu menceritakan keadaan sebagaimana adanya.Sekali lagi untuk mendukung betapa ‘terikatnya’ Khaldun terhadap Al-Qur’an,metode ini terambil dari ajaran Qur’an sendiri,demikian menurut Zainuddin.

Namun demikian,Khaldun berpendapat bahwa pendekatan keagamaan terhadap masalah-masalah kemasyarakatan bukanlah merupakan pendekatan yang tepat.Disatu pihak,,dalam kenyataannya,agama jarang menjadi sentral pemikiran manusia. Dilain pihak,negara-negara yang tidak beragama islam jauh lebih banyak daripada yang beragama Islam.Demikian,karenanya Khaldun mengatakan – dan hal ini agak membingungkan – bahwa pendekatannya terhadap kehidupan manusia didalam masyarakat bukanlah merupakan pendekatan yang bersifat keagamaan.

Apa yang dapat dirumuskan bahwa ketika Khaldun berbicara tentang pendekatan keagamaan dengan pengertian terbatas – yaitu pengertian fiqhiyah yang melihat segala sesuatu dari sudut halal dan haram saja. Sebagai gantinya Khaldun mengajukan suatu alternatif,yaitu suatu pendekatan yang lebih luas ruang lingkupnya dan lebih universal aplikasinya.Inilah yang ia namakan sebagai pendekatan budaya,atau pendekatan dari segi kehidupan manusia didalam masyarakat.Dengan pendekatan semacam ini memungkinkan dirinya untuk melihat kenyataan kehidupan masyarakat,bagaimana ia berjuang mempertahankan diri terhadap alam dan binatang buas,dan juga terhadap sesama manusia sendiri.Termasuk didalamnya adalah bagaimana ia bergulat untuk mempertahankan dan mendapatkan kekuasaan.Ringkasnya,Khaldun berusaha untuk melepaskan diri dari hukum agama dengan pengertian yang sempit,dan pergi kepada suatu hukum agama yang lebih luas pengertiannya – yaitu yang dinamakan sunnatullah.

Dari kerangka berpikir demikian,menurut Khaldun,Negara bukan merupakan hal luar biasa.Ia merupakan kewajaraj dalam perkembangan masyarakat manapun.Negara merupakan hal tertinggi yang dapat dicapai oleh ‘ashabiyah’ (solidaritas) dalam perjalanannya yang panjang.’ashabiyah’ inilah kata kunci dalam pikiran Khaldun karena ia yang menjadi motor kekuasaan.Demikian,negara menempati posisi sentral dalam kehidupan masyarakat,dimana ia digambarkan sebagai pasar yang penuh kegiatan.Dalam ‘pasar’ itu,demikian Khaldun,akan terdapat emas murni dan perak asli,jika negara menjauhkan diri dari kesewenangan,pilih kasih,kebodohan, dan kehinaan serta bertekad untuk menempuh jalan yang lurus.Tetapi jika yang dilakukan sebaliknya maka yang terdapat di ‘pasar’ itu adalah barang rongsokan dan palsu.Demikian,maka negaralah yang menentukan kualitas manusia.Jika negara baik maka kualitas manusia adalah bagaikan emas murni atau perak asli; dan sebaliknya.

Selanjutnya, bagi Khaldun,cara pelaksanaan kekuasaan dalam negara,dibagi menjadi tiga bagian.Pertama, cara pelaksanaan kekuasaan yang lemah lembut dan penuh keadilan; kedua, cara pelaksanaan kekuasaan dengan penuh dominasi,mempergunakan kekerasan dan intimidasi; dan ketiga, cara pelaksanaan kekuasaan dengan menjatuhkan hukuman dan sangsi-sangsi.

Dengan pelaksanaan kekuasaan yang pertama,manusia akan mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan segala potensi yang terdapat didalam dirinya.Ciri yang paling menonjol dalam masyarakat seperti ini bahwa setiap orang megemukakan pendapatnya sebagaimana adanya,tanpa disadari oleh rasa takut dan tanpa ada orang yang menghalangi.Demikian arus informasi menjadi begitu deras.
Dalam masyarakat ketiga,dimana kekuasaan diletakkan dengan kekerasan dan intimidasi,moral rakyat akan hancur sama sekali.Jika rakyat diperlakukan secara tidak adil dan tidak mendapat kesempatan untuk mempertahankan diri serta menjelaskan perkara yang dialaminya, maka didalam hatinya ia amat terhina dan meghancurkan daya tahannya sebagai manusia.Dalam kerangka ini Khaldun merasa kagum terhadap orang Baduwi yang hidup bebas merdeka di tengah padang pasir.

Dalam masyarakat kedua,rakyat akan memiliki jiwa penakut.Hal ini akan merugikan daya ketahanan nasional,sebab rakyat akan menjadi malas dan dihinggapi oleh perasaan acuh terhadap apa yang terjadi di sekelilingnya.

Untuk mengatasi kesemuanya itu perlu suatu ideologi nasional.Dimana ia merupakan pengikat dan sumber hukum nasional yang ditaati oleh masyarakat.Ideologi nasional semacam itu,menurut Khaldun, dapat dibagi-bagi dan dikategorisasikan berdasarkan sumber pengambilanya.Pertama,ideologi yang bersifat politis rasional,dimana ideologi tersebut dihasilkan dan diwajibkan oleh para cendikiawan dan pembesar negara.Kedua,adalah ideologi nasional berdasarkan politik keagamaan,dimana Allah dengan perantara Rasulnya,merupakan sumber pemberitahuan manusia akan pentingnya suatu nilai.Diantara kedua ideologi tersebut diatas,jelas,Khaldun memilih ideologi yang kedua.Sebab,menurutnya,ideologi keagamaan akan menjamin kehidupan dunia dan akhirat.Manusia dalam hidup ini tidak semata-mata menuju pada dunia saja,sebab seluruh dunia itu “hampa” dan “bathil” – kematian dan kefanaan.Pandangan ideologis dari sudut politik semata tidaklah lengkap,karena memandang sesuatu tanpa nur­-Allah.

Khaldun tentang perobahan sosial

Para ilmuwan sosial sependapat,bahwa kemajuan dan kemunduran suatu masyarakat merupakan fakta sejarah.Tetapi apakah dan siapakah yang menggerakkan dan memungkinkan terjadinya perobahan sosial itu?Tentang hal ini berbagai pendapat bermunculan.Bagi Plato,Kong Fu Tse,Thuoydides,Machiavelli,misalnya,penggerak social adalah mereka yang tengah memegang posisi sentral,yaitu para penguasa. Namun bagi Ibn Khaldun ,ia berbeda dengan tokoh-tokoh di atas.Maju-mundurnya suatu masyarakat tidaklah disebabkan keberhasilan atau kegagalan sang Penguasa,atau akibat peristiwa kebetulan atau takdir.Namun,bagi Khaldun,ia lebih mengandalkan masyarakat syari’iyyah yang akan mengalami perobahan yang sebaik- baiknya.Akan tetapi bukan hal ini sesungguhnya yang dialami Khaldun,tetapi justru perobahan sosial sebagaimana yang berlangsung secara global itu sendiri.

Bagi Khaldun,semua perobahan sosial menyusur rentang waktu sekitar 120 tahun,terangkat atas tiga generasi yang masing-masing berusia 40 tahun.Lagi-lagi teori ini,menurut Mahyuddin,karena inspirasi yang didapat Khaldun dari Al-Qur’an.Betapa pun teori ini masih dapat diperdebatkan,tapi yang justru menarik adalah persoalan ‘ashabiyah yang terdapat dalam anggota masyarakat itu. Dengan melihat tinggi-rendahnya kadar ‘ashabiyah di atas,Khaldun menggolongkan masyarakat atas dua bagian.Pertama,masyarakat Badawah(baduwi),dan kedua: masyarakat hadharah(berperadaban).Yang pertama merujuk pada suatu golongan masyarakat sederhana,hidup mengembara dan lemah dalam peradaban.Tetapi perasaan senasib,dasar norma-norma,nilai-nilai serta kepercayaan yang sama pula dan keinginan untuk bekerjasama merupakan suatu hal yang tumbuh subur dalam masyarakat ini.Pendeknya,’ashabiyah (solidaritas)dalam masyarakat ini begitu kuat.Akan halnya masyarakat kedua,ditandai oleh hubungan sosial yang impersonal dan seringkali superficial.Masing-masing pribadi berusaha untuk memenuhi kebutuhan pribadinya,secara masing-masing,tanpa menghiraukan yang lain.Demikian,Khaldun menjelaskan bahwa semakin moderen suatu masyarakat semakin melemahlah nilai ‘ashabiyah atau solidaritas.Integrasi sosial yang rendah mengakibatkan kontrol sosial yang rendah pula.Sebaliknya,integrasi sosial yang tinggi akan membuahkan kontrol sosial yang tinggi pula.

‘Ashabiyah dan konsepsi Khaldun tidak dapat dipisahkan dengan konsep kekuasaan.Bahkan ‘ashabiyah’ identik dengan power.Demikian,kelihatan dalam sejarah betapa berbagai kerajaan besar dihancurkan oleh golongan masyarakat Badawah.Di Eropa,zaman masyarakat ini diwakili oleh orang Barber yang menaklukkan berbagai kekaisaran. Suatu masyarakat Badawah yang dipimpin oleh seseorang yang dapat diterima akan dapat melumpuhkan golongan masyarakat Hadharah yang sekarat.Mereka mengambil alih seluruh kekuasaan dan budaya yang dimiliki golongan Hadharah.Lambat laun golongan Badawah yang menghancurkan golongan Hadharah,kehilangan kebaduwiannya,’ashabiyahnya,dan menjadi Hadharah yang akan digeser oleh golongan Badawah berikutnya.Demikian,hal ini akan selalu terjadi bergantian.Konflik eksternal dalam masyarakat,akan menimbulkan sirkulasi dan perobahan struktur kekuasaan.Inilah yang disebut Khaldun sebagai proses daur sejarah yang berlangsung dari masa ke masa,dari generasi ke generasi. Menurut Mahyuddin,teori proses daur sejarah Ibn Khaldun ini lebih unggul dibanding dengan teori lenear masyarakat modern sebagaimana yang dikemukakan oleh para penganut Marx, Weber atau kalangan modernisme lain.Sebab ketika ditanyakan kepada mereka: Apa sesudah komunisme ? Apa sesudah kapitalisme ? Dan apa sesudah modernisme ?Terdapat kesulitan bagi mereka untuk menjelaskannya.Hingga di sini beyond komunisme,kapitalisme,dan modernisme, terdapat kebuntuan untuk memproyektir masyarakat apa yang ada sesudahnya.

Demikian,si Tunisia Ibn Khaldun tampil sendirian sebagai genius sejarah terbesar dari Islam yang pertama melahirkan suatu konsepsi filosofis dan sosiologis tentang sejarah.Jika dalam buku Ideas and History,Cromwell disebut sebagai “pembuat sejarah” – tetapi tak pernah menulis sejarah - , maka Ibn Khaldun adalah pembuat sejarah dan sekaligus penulis sejarah.

Penulis adalah Mantan Ketua umum Pengurus Daerah Pelajar Islam Indonesia ( PII ) KodyaBukittinggi – Kab.Agam periode 2006-2008 , sekarang aktifis PII Pasaman.
/////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////


PEMBAHASAN
A. RIWAYAT HIDUP IBN KHALDU<n
Ibn Khaldu>n lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M dengan nama Abd al Rahma>n bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Al-Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibarahim bin Abd al Rahma>n bin Khaldu>n, dan lebih dikenal dengan Ibn Khaldu>n. Nenek moyangnya berasal dari Hadramaut (Yaman) yang bermigrasi ke Seville (Spanyol) pada abad ke-8 M, setelah semenanjung itu ditaklukan Islam.
Setelah Spanyol direbut penguasa Kristen, keluarga besar Ibn Khaldu>n hijrah ke Maroko dan kemudian menetap di Tunisia. Di kota itu, keluarga Ibn Khaldu>n dihormati pihak istana dan tinggal di lahan milik dinasti Hafsiah. Sejak terlahir ke dunia, Ibn Khaldu>n sudah hidup dalam komunitas kelas atas.
Guru pertama Ibn Khaldu>n adalah ayahnya sendiri. Sejak kecil, ia sudah menghafal al Qur-a>n dan menguasai tajwid. Selain itu, dia juga menimba ilmu agama, fisika, hingga matematika dari sejumlah ulama Andalusia yang hijrah ke Tunisia. Ia selalu mendapatkan nilai yang memuaskan dalam semua bidang studi. Studinya kemudian terhenti pada 749 H. Saat menginjak usia 17 tahun, tanah kelahirannya diserang wabah penyakit pes yang menelan ribuan korban jiwa. Akibat peristiwa yang dikenal sebagai Black Death itu, para ulama dan penguasa hijrah ke Maghrib Jauh (Maroko).
Ibn Khaldu>n hidup pada masa peradaban Islam berada diambang degradasi dan disintegrasi. Kala itu, Khalifah Abbasiyah di ambang keruntuhan setelah penjarahan, pembakaran, dan penghancuran Baghdad dan wilayah disekitarnya oleh bangsa Mongol pada tahun 1258 M, sekitar tujuh puluh lima tahun sebelum kelahiran Ibn Khaldu>n. Pada masa hidupnya ini merupakan masa pengujung zaman pertengahan dan permulaan zaman renaissance. Perubahan krusial historis menanadai abad ini, baik dalam bidang politik maupun pemikiran. Di eropa zaman merupakan zaman cikal bakal renaissance. Sedangkan di timur (islam) periode ini sedang berlangsung suatu fase kemunduran dan disintegrasi.
Di tengah evolusi peradaban ini, Khaldu>n pernah terlibat langsung intrik politik dalam pemerintahan, ia juga pernah menjabat sebagai sekretaris sultan Abu Inan dari Fez dan sebagai perdana menteri di Bougie. Setelah itu Khaldu>n merasa lelah dalam intrik yang dihadapinya, sehingga ia memutuskan untuk menjauhi dunia politik dan berkecimpung di dunia keilmuan dan intelektual.
Setelah mundur dari percaturan politik praktis, Ibn Khaldu>n bersama keluarganya menyepi di “Qal’at Ibn Salamah” istana yang terletak di negeri Banu Tajin selama empat tahun. Selama masa kontemplasi itu, Ibn Khaldu>n berhasil merampungkan sebuah karya monumental yang hingga kini masih tetap dibahas dan diperbincangkan. Keputusan ini berbuah dengan munculnya karya-karya intelektualnya seperti kitab al ibar yang membahas mengenai sejarah. Kitab tersebut didahului oleh sebuah pembahasan tentang masalah-masalah sosial manusia, yang kemudian dikenal dengan muqaddimah Ibn Khaldu>n. Muqaddimah ini selesai ditulis oleh Khaldu>n dalam waktu selama lima bulan, dan berakhir pada pertengahan 779 H/ November 1377 M. hal ini ia ungkapkan dalam penutupan muqaddimah-nya: Saya selesaikan komposisi dan naskah dari pasal yang pertama ini, sebelum revisi dan koreksi, selama lima bulan, berakhir pada pertengahan tahun 779 (November 1377). Lalu, saya merevisi dan mengoreksi buku ini, dan saya tambahkan kepadanya sejarah berbagai macam bangsa, sebagaimana telah saya sebutkan dan saya niatkan untuk melakukannya pada permulaan karya itu.
Empat tahun kemudian, ia hijrah ke Iskandaria (Mesir) untuk menghindari kekisruhan politik di Maghrib. Di Kairo, Ibn Khaldu>n disambut para ulama dan penduduk. Ia lalu membentuk halaqah di Al-Azhar. Ia didaulat raja menjadi dosen ilmu Fikih Mazhab Maliki di Madrasah Qamhiyah. Tak lama kemudian, dia diangkat menjadi ketua pengadilan kerajaan.
Ibn Khaldu>n sempat mengundurkan diri dari pengadilan kerajaan, lantaran keluarganya mengalami kecelakaan. Raja lalu mengangkatnya lagi menjadi dosen di sejumlah madrasah. Setelah menunaikan ibadah haji, ia kembali menjadi ketua pengadilan dan kembali mengundurkan diri. Pada 803 H, dia bersama pasukan Sultan Faraj Barquq pergi ke Damaskus untuk mengusir Timur Lenk, penguasa Mogul.
Berkat diplomasinya yang luar biasa, Ibn Khaldu>n malah bisa bertemu Timur Lenk yang dikenal sebagai penakluk yang disegani. Dia banyak berdiskusi dengan Timur. Ibn Khaldu>n, akhirnya kembali ke Kairo dan kembali ditunjuk menjadi ketua pengadilan kerajaan. Ia tutup usia pada 25 Ramadhan 808 H di Kairo. Meski dia telah berpulang enam abad yang lalu, pemikiran dan karya-karyanya masih tetap dikaji dan digunakan hingga saat ini.

B. PEMIKIRAN IBN KHALDU>N TENTANG SEJARAH PERADABAN
Dalam metodeloginya, Ibn Khaldu>n mengutamakan data empirik, verifikasi teoritis, pengujian hipotesis, dan metode pemerhatian. Semuanya merupakan dasar pokok penelitian keilmuan Barat dan dunia, saat ini. `’Ibn Khaldu>n adalah sarjana pertama yang berusaha merumuskan hukum-hukum sosial,” papar Ilmuwan asal Jerman, Heinrich Simon. Pendapat ini hampir sama dengan yang dikemukakan oleh Philip K. Hitti.
Di tangan Ibn Khaldu>n, sejarah menjadi sesuatu yang rasional, faktual dan bebas dari dongeng-dongeng. Bermodalkan pengalamannya yang malang-melintang di dunia politik pada masanya, Ibn Khaldu>n mampu menulis Al Muqaddimah dengan jernih. Dalam kitabnya itu, Ibn Khaldu>n juga membahas peradaban manusia, hukum-hukum kemasyarakatan dan perubahan sosial.
Dunia mendaulatnya sebagai `Bapak Sosiologi Islam’. Sebagai salah seorang pemikir hebat dan serba bisa sepanjang masa, buah pikirnya amat berpengaruh. Sederet pemikir Barat terkemuka, seperti Georg Wilhelm Friedrich Hegel, Robert Flint, Arnold J Toynbee, Ernest Gellner, Franz Rosenthal, dan Arthur Laffer mengagumi pemikirannya. Lewat Al-Muqaddimah, Ibn Khaldu>n adalah sarjana pertama yang menyatakan dengan jelas, sekaligus menerapkan prinsip-prinsip yang menjadi dasar sosiologi. Salah satu prinsip yang dikemukakan Ibn Khaldu>n mengenai ilmu kemasyarakatan antara lain; `’Masyarakat tidak statis, bentuk-bentuk soisal berubah dan berkembang.”
Secara garis besar Al-Muqaddimah menjadi tiga bagian utama, yaitu:
Pertama, membicarakan histografi mengupas kesalahan-kesalahan para sejarawan Arab-Muslim.
Kedua, Al-Muqaddimah mengupas soal ilmu kultur. Bagi Ibn Khaldu>n, ilmu tersebut merupakan dasar bagi pemahaman sejarah.
Ketiga, mengupas lembaga-lembaga dan ilmu-ilmu keislaman yang telah berkembang sampai dengan abad ke-14.
Meski hanya sebagai pengantar dari buku utamanya yang berjudul Al-`Ibar, kenyataannya Al-Muqaddimah lebih termasyhur. Pasalnya, seluruh bangunan teorinya tentang ilmu sosial, kebudayaan, dan sejarah termuat dalam kitab itu. Dalam buku itu Ibn Khaldu>n diantara menyatakan bahwa kajian sejarah haruslah melalui pengujian-pengujian yang kritis
Ibn Khaldu>n menjelaskan bahwa manusia manusia berbeda dengan makhluk hidup yang lain, karena ia mempunyai ciri sendiri, Yaitu:
1. Ilmu pengetahuan dan keahlian yang merupakan hasil pikiran;
2. Butuh kepada pengaruh yang sanggup mengendalikan, dan kepada kekuasaan yang kokoh, sebab tanpa hal itu eksistensinya tak bisa dimungkinkan;
3. Usaha manusia menciptakan penghidupan, dan perhatiannya untuk mem­peroleh penghidupan itu dengan berbagai cara.
4. Peradaban ('umran).
Empat ciri tersebut yang membedakan manusia dengan yang lainnya, sehingga menurut Ibn Khaldu>n manusia diciptakan sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan.
Menurut Ibn Khaldu>n ada beberapa alasan manusia harus membentuk organisasi :
1. Manusia hanya mungkin bertahan untuk hidup dengan bantuan makanan. Sedang untuk memenuhi makanan yang sedikit dalam waktu satu hari saja memerlukan banyak pekerjaan. Artinya, manusia dalam mempertahankan hidupnya dengan makanan membutuhkan manusia yang lain.
2. Manusia memerlukan bantuan dalam hal pembelaan diri terhadap ancaman bahaya..
Setelah organisasi masyarakat terbentuk, dan inilah peradaban, maka masyarakat memerlukan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat betindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota masyarakat. Ini karena manusia mempunyai watak agresif dan tidak adil, sehingga dengan akal dan tangan yang diberikan Tuhan padanya tidak memungkinkan untuk mempertahankan diri dari serangan manusia yang lain karena setiap manusia mempunyai akal dan tangan pula. Untuk itulah diperlukan sesuatu yang lain untuk menangkal watak agresif manusia terhadap lainnya. Ia adalah seseorang dari masyarakat itu sendiri, seorang yang berpengaruh kuat atas anggota masyarakat, mempunyai otoritas dan kekuasaan atas mereka sebagai pengendali / al wa>zi’. Dengan demikian tidak akan ada anggota masyarakat yang menyerang sesama anggota masyarakat lain.
Kebutuhan akan adanya seseorang yang mempunyai otoritas dan bisa mengendalikan ini kemudian meningkat. Didukung dengan rasa kebersamaan yang terbentuk bahwa seorang pemimpin dalam mengatur dan menjadi penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal, perdana Menteri, serta pembantu-pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah Dinasti (daulah) atau kerajaan (mulk).
Selain apa yang telah dipaparkan diatas, Ibn Khaldu>n berpendapat bahwa ada faktor lain pembentuk Negara (daulah), yaitu al ‘as}abiyyah . Teorinya tentang al ‘as}abiyyah inilah yang melambungkan namanya dimata para pemikir modern, teori yang membedakannya dari pemikir Muslim lainnya. al ‘as}abiyyah mengandung makna Group feeling, solidaritas kelompok, fanatisme kesukuan, nasionalisme, atau sentimen sosial. Yaitu cinta dan kasih sayang seorang manusia kepada saudara atau tetangganya ketika salah satu darinya diperlakukan tidak adil atau disakiti. Tujuan akhir dari solidaritas sosial adalah kedaulatan.
Adapun pendorong yang membentuk al ‘as}abiyyah yang terdapat dalam Muqaddimah antara lain :
1. Ikatan kekeluargaan atau lebih luas lagi persamaan Agama.
Khusus bangsa Arab menurut Ibn Khaldu>n, persamaan Ketuhananlah yang membuat mereka berhasil mendirikan Dinasti. Sebab menurutnya, Bangsa Arab adalah Bangsa yang paling tidak mau tunduk satu sama lain, kasar, angkuh, ambisius dan masing-masing ingin menjadi pemimpin. al ‘as}abiyyah yang ada hanya al ‘as}abiyyah kesukuan/qabilah yang tidak memungkinkan mendirikan sebuah dinasti karena sifat mereka. Hanya karena Agama yang dibawa oleh Nabi mereka akhirnya bisa dipersatukan dan dikendalikan.
2. Social fundamental, yang terdapat di kalangan orang desa dan juga dikalangan orang kota.
Untuk bertahan hidup masyarakat pedalaman harus memiliki sentimen kelompok (al ‘as}abiyyah ) yang merupakan kekuatan pendorong dalam perjalanan sejarah manusia, pembangkit suatu klan. Klan yang memiliki al ‘as}abiyyah kuat tersebut dapat berkembang menjadi sebuah negeri. Sifat kepemimpinan selalu dimiliki orang yang memiliki solidaritas sosial. Setiap suku biasanya terikat pada keturunan yang bersifat khusus (khas) atau umum (‘aam). Solidaritas pada keturunan yang bersifat khusus ini lebih mendarah-daging daripada solidaritas dari keturunan yang bersifat umum
Bangsa-bangsa liar lebih mampu memiliki kekuasaan daripada bangsa lainnya. Kehidupan padang pasir merupakan sumber keberanian. Tak ayal lagi, suku liar lebih berani dibanding yang lainnya. Oleh karena itulah, mereka lebih mampu memiliki kekuasaan dan merampas segala sesuatu yang berada dalam genggaman bangsa lain. Sebabnya, adalah karena kekuasaan dimiliki melalui keberanian dan kekerasan. Apabila di antara golongan ini ada yang lebih hebat terbiasa hidup di padang pasir dan lebih liar, dia akan lebih mudah memiliki kekuasaan daripada golongan lain.
3. Persekutuan atau aliansi.
Homogenitas juga berpengaruh dalam pembentukan sebuah Dinasti yang besar. Adalah jarang sebuah Dinasti dapat berdiri di kawasan yang mempunyai beragam aneka suku, sebab dalam keadaan demikian masing-masing suku mempunyai kepentingan, aspirasi, dan pandangan yang berbeda-beda sehingga kemungkinan untuk membentuk sebuah Dinasti yang besar merupakan hal yang sulit. Hanya dengan hegemonitas akan menimbulkan solidaritas yang kuat sehingga tercipta sebuah Dinasti yang besar.
4. Hubungan antara pelindung dan yang dilindungi.
Karena penduduk kota malas dan suka yang mudah-mudah. Mereka larut dalam kenikmatan dan kemewahan. Mereka mempercayakan urusan keamanan diri dan harta kepada penguasa. Sedangkan orang Badui hidup memencilkan diri dari masyarakat. Mereka hidup liar di tempat-tempat jauh di luar kota dan tak pernah mendapatkan pengawasan tentara. Karena itu, mereka sendiri yang mempertahankan diri mereka sendiri dan tidak minta bantuan pada orang lain.
Dalam masalah al ‘as}abiyyah tersebut Abd. Al Raziq al-Ma>kki, menelaah Muqaddimah karya Ibn khaldu>n dan berpendapat bahwa ada lima bentuk al ‘as}abiyyah , yaitu :
1. al ‘as}abiyyah kekerabatan dan keturunan, adalah Ashabiyah yang paling kuat.
2. al ‘as}abiyyah persekutuan, yang terjadi karena keluarga seseorang dari garis keturunannya yang semula ke garis keturunan yang lain.
3. al ‘as}abiyyah kesetiaan, yang terjadi karena peralihan seseorang dari garis keturunan dan kekerabatan keturunan yang lain akibat suatu kondisi. Dalam kasus ini Ashabiyah timbul dari penggabungan seseorang pada garis keturunan yang baru
4. al ‘as}abiyyah penggabungan, yang terjadi karena larinya seseorang dari keluarga dan kaumnya kemudian bergabung dengan keluarga dan kaum yang lain
5. al ‘as}abiyyah perbudakan, yang timbul dari hubungan antara para budak dan kaum mawali dengan tuan – tuan mereka.
Berdasarkan teorinya al ‘as}abiyyah , Ibn Khaldu>n membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu:
1. Tahap suksesi atau tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (al ‘as}abiyyah ) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya.
2. Tahap tirani, tahap dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut. Penguasa menutup pintu bagi mereka yang ingin turut serta dalam pemerintahannya. Maka segala perhatiannya ditujukan untuk kepentingan mempertahankan dan memenangkan keluarganya.
3. Tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara.
4. Tahap kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya.
5. Tahap hidup boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya.
Tahap – tahap timbul tenggelamnya suatu peradaban yang di kemukakan oleh Ibn Khaldu>n dapat memunculkan tiga generasi, yaitu:
1. Generasi Pembangun, yang dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas kekuasaan yang didukungnya.
2. Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara.
3. Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa mempedulikan nasib negara.
Jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi ketiga ini, maka keruntuhan negara sebagai sunnatullah sudah di ambang pintu, dan menurut Ibn Khaldu>n proses ini berlangsung sekitar satu dekade / abad. Ibn Khaldu>n juga menuturkan bahwa sebuah Peradaban besar dimulai dari masyarakat yang telah ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan. Keinginan hidup dengan makmur dan terbebas dari kesusahan hidup ditambah dengan al ‘as}abiyyah diantara mereka membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian memunculkan sebuah peradaban baru. Dan kemunculan peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain. Tahapan-tahapan diatas kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal dengan Teori Siklus.
Dengan demikian umur tiga generasi ini dibagi menjadi empat tahap yang harus dilalui oleh masyarakat tersebut :
1. Tahap primitif ( al-badawah ). Perhatian individu dalam tahap ini hanyalah tertuju kepada penghidupannya. Dia memiliki sifat yang keras untuk menghidupi dirinya, bahkan siap mencaplok orang lain dengan kejam. Dengan kata lain bercirikan kekerasan, keberanian, dan fanatic. Pada fase ini masyarakat dikendalikan oleh kebutuhan dan kebiasaannya, dan belum dikendalikan oleh hukum.
2. Tahap kepemilikan ( al-Mulk). Pada tahap ini kekuasaan masyarakat terpusat pada tangan seseorang atau keluarga atau suatu golongan. Fanatisme pada tahap ini dilakukan terang – terangan. Pada tahap ini juga terjadi perubahan kearah kemajuan budaya. Penduduknya mulai patuh pada hukum dan perundang – undangan dengan adanya penguasa yang mengatur urusan – urusan masyarakat. Fase ini merupakan awal munculnya Negara.
3. Tahap beradap dan kemakmuran. Pada tahap ini sudah terpupusnya rasa fanatic golongan. Penduduknya saling bekerja sama dalam memelihara dan mempertahankan kepentingan bersama. Pada fase inilah terdapat Negara sebagaimana yang kita lihat sekarang ini.
4. Tahap kelemahan, kerusakan akhlak dan kemunduran. Pada tahap ini Negara menjadi mangsa yang empuk untuk serangan musuh dari luar.
Pada tahap pertama manusia masih tergolong bangsa yang liar, sehingga yang dicari hanyalah masalah kebutuhan hidup dan adat kebiasaan masih mendominasi dengan jelas. Dilanjutkan tahap yang kedua dimana manusia sudah mulai timbul kesadaran akan kerjasama dalam memenuhi kebutuhan hidup, sehingga mereka membuat dan melaksanakan peraturan – peraturan dan sudah mulai mengenal sistem kepemilikan (al-mulk) walaupun pemimpinnya terpusat pada seseorang atau golongan tertentu. Sedangkan pada tahap yang ketiga sudah mulai muncul rasa nasionalisme dengan membuang rasa fanatic terhadap golongan tertentu. Mereka sudah mulai sadar bahwa kepentingan bersama diatas segalanya. Dengan demikian masyarakat akan mengalami kemakmuran. Mereka hidup dengan kemewahan karena Negara atau peradapan sedang berada pada masa kejayaan. Hal ini akan menimbulkan tahap yang ke-empat dimana Negara atau peradapan akan melemah, karena masyarakatnya hanya menikmati kemewahan tanpa memperdulikan kepentingan Negara atau peradapan, sehingga musuh dari luar dengan mudahnya meanghancurkan Negara tersebut. Demikianlan akan terulang lagi tahap pertama dan seterusnya.

KESIMPULAN
Dari pembahasan tersebut tentang pemikiran Ibn Khaldu>n tentang sejarah peradaban manusia dapat kami simpulkan bahwa:
1. Ibn Khaldu>n lahir di Tunisia pada 1 Ramadhan 732 H/ 27 Mei 1332 M dengan nama Abd al Rahma>n bin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Al-Hasan bin Jabir bin Muhammad bin Ibarahim bin Abd al Rahma>n bin Khaldu>n, dan lebih dikenal dengan Ibn Khaldu>n. Guru pertama Ibn Khaldu>n adalah ayahnya sendiri. Selain itu, dia juga menimba ilmu agama, fisika, hingga matematika dari sejumlah ulama Andalusia yang hijrah ke Tunisia.
Ibn Khaldu>n hidup pada masa peradaban Islam berada diambang degradasi dan disintegrasi. Di tengah evolusi peradaban ini, Khaldu>n pernah terlibat langsung intrik politik dalam pemerintahan, ia juga pernah menjabat sebagai sekretaris sultan Abu Inan dari Fez dan sebagai perdana menteri di Bougie. Setelah itu Khaldu>n merasa lelah dalam intrik yang dihadapinya, sehingga ia memutuskan untuk menjauhi dunia politik dan berkecimpung di dunia keilmuan dan intelektual. Keputusan ini berbuah dengan munculnya karya-karya intelektualnya seperti kitab al ibar yang membahas mengenai sejarah. Kitab tersebut didahului oleh sebuah pembahasan tentang masalah-masalah sosial manusia, yang kemudian dikenal dengan muqaddimah Ibn Khaldu>n. Ia tutup usia pada 25 Ramadhan 808 H di Kairo.
2. Perhatian Ibn Khaldu>n terhadap sejarah peradaban sangatlah besar. Hal ini dibuktikan dengan adanya pembahasan pada setiap pembahasan yang terdapat didalam Muqadimah yang terdiri dari 6 pembahasan/bab. Manusia mempunyai perbedaan yang mendasar dengan makhluk lain. Hal inilah yang menyebabkan manusia harus menjadi makhluk politik atau sosial yang harus membutuhkan yang lain.
Yang menyebabkan manusia membentuk sebuah organisasi antara lain karena manuisa tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan juga manusia membutuhkan perlindungan orang lain, serta factor al ‘as}abiyyah. Tahapan timbulnya sebuah peradaban melalui tahapan – tahapan sebagai berikut: suksesi atau konsolidasi, tirani, sejahtera, kepuasan hati, tentram, damai dan tahap hidup boros atau berlebihan. Dengan tahapan tersebut menimbulkan Generasi pembangun, penikmat dan generasi penghancur yang tidak mempunyai hubungan emosional dengan Negara. Tahapan tersebut terulang kembali dengan kebudayaan yang lain (Siklus peradaban).
</n
Diposkan oleh Referensi agama di 10:08
//////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////////
Ibnu Khaldun yang mempunyai nama lengkap Abu Zayd 'Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami lahir pada tanggal 27 Mei 1332/732H, dan beliau wafat pada 19 Maret 1406/808H). Seorang sejarawan muslim dari Tunisia dan sering disebut sebagai bapak pendiri ilmu historiografi, sosiologi dan ekonomi. Karyanya yang terkenal adalah Muqaddimah .Ibnu Khaldun, nama ini begitu terkenal dikalangan pemikir dan Ilmuwan Barat. Ia adalah pemikir dan Ilmuwan Muslim yang pemikiranya dianggap murni dan baru pada zamannya. Ibnu khaldun adalah salah seorang cendikiawan muslim yang hidup pada masa kegelapan Islam. Ia dipandang sebagai satu-satunya ilmuan Muslim yang tetap kreatif menghidupkan khazanah inteletualisme Islam pada periode pertengahan. Pada periode ini, menurut Mehdi Nakosteen para cendikiawan Muslim hampir tidak ada cerusan dan spirit dari pemikiran kreatif yang menjadi ciri-ciri sebagaimana dua abad sebelumnya. Mereka hanya mampu melakukan evaluasi, kanonisasi (penggunaan dalil-dalil agama), ulasan-ulasan (syarakh) dan kritisme dari abad keemasan. Para pemikir dan penulis kreatif muslim berkurang dan nyaris berhenti pada tahun 1300-an, kecuali ahli sejarah, sosiolog dan filosof dan juga tokoh pendidikan muslim Ibnu Khaldun.

Dapat dikatakan bahwa pemikiran Ibnu Khaldun kini telah berpengaruh secara signifikan atas konsep, pemikiran, teori dan metodologi sosiologi klasik. Teori tentang perubahan sosial yang didasarkan pada observasinya terhadap berbagai kesultanan pada masanya yang disebut sebagai teori siklus perubahan sosial.

Ibnu Kahldun bukan hanya kaya akan gagasan ilmu pengetahuan, tetapi juga kaya dengan pengalaman jabatan politik dan hukum. Dua hal itulah yang menyebabkan teori – teori filsafat sejarah dan sosiologi politiknya tetap “membumi”. Kekokohan dasar dari pengetahuan geografis, politis dan kultur yang dimilikinya membuat ia memahami sunnatullah perubahan masyarakat, yang oleh karena itu menerima system politik monarki sebagai sesuatu yang alamiah dan mendasar.

Teori siklus ibnu Khaldun menyatakan bahwa manusia diciptakan sebagai makhluk sosial-politik atau memerlukan orang lain. Kemudian Ibnu Khaldun menjelaskan tentang proses siklus secara rinci, yaitu sebagai berikut :
• Asal mula negara
• Sosiologi masyarakat
• Khilafah
• Bentuk – bentuk pemerintahan
• Tahap timbul tenggelamnya peradaban
Tahapan – tahapan tersebut terjadi secara berulang – ulang sehingga disebut dengan teori siklus.

Karena pemikiran-pemikirannya yang brilian, Ibnu Khaldun dipandang sebagai peletak dasar ilmu-ilmu sosial dalam Islam [Biyanto, 2006]. Dasar pendidikan Al Qur’an yang diterapkan oleh ayahnya menjadikan Ibnu Khaldun mengerti tentang Islam, dan giat mencari ilmu selain ilmu-ilmu keislaman. Sebagai Muslim ia juga sangat menjunjung tinggi akan kehebatan Alquran.Jadi, nilai-nilai spiritual sangat diutamakan dalam kajiannya, di samping mengkaji ilmu-ilmu lainnya. Kehancuran suatu negara, masyarakat, atau pun secara individu menurutnya dapat disebabkan oleh lemahnya nilai-nilai spiritual yang ditanamkan. Pendidikan agama sangatlah penting sekali sebagai dasar untuk menjadikan insan yang beriman dan bertakwa untuk kemaslahatan umat. Itulah kiranya kunci keberhasilan Ibnu Khaldun dalam mengembangkan kerangka berfikir tentunya dengan berbagai kekurangan yang dimilikinya.

Bagi Ibnu Kholdun sejarah menuju ke arah timbulnya beraneka warna masyarakat, negara dengan manusianya menuju ke arah kesempurnaan hidup. Teori Ibnu Kholdun mendidik manusia menjadi pejuang yang tak kenal mundur. Puncak gerak sejarah ialah umat manusia bahagia dengan beraneka ragam masyarakat, negara, kesatuan hidup lainnya yang sempurna.

///////////////////////////////////////////////////////////////


"Ibnu Khaldun Ilmuan Terulung"

Nama sebenar Abdul Rahman bin Muhammad bin Khaldun al-Hadrami Beliau dilahirkan pada tahun 1332 di Tunis dan merupakan tokoh sejarawan ulung yang kaya dengan ilmu pengetahuan seperti fikah, hadis, logik falsafah, matematik, kalam, astronomi, geografi, sastera, bahasa Arab dan pelbagai cabang ilmu lain. Dalam kancah mahupun arena politik pula, Ibnu Khaldun mempunyai banyak pengalaman seperti menjawat jawatan seperti ahli persuratan di istana Fas, menjadi hajib (setaraf dengan PM) di Bougie, hakim mahkamah diraja dan setiausaha Raja Muda Abu Ishak. Ibnu Khaldun dipercayai mula menulis ataupun berminat untuk menceburi bidang penulisan selepas pulang daripada menunaikan haji (1387) dan memberi penumpuan dalam bidang sejarah kerana ada ilmu pengetahuan dan pengalaman yang luas.
Penulisan beliau dalam pensejarahan Islam telah memperlihatkan dengan terhasilnya kitab Muqaddimah. Kitab ini dianggap karya yang teragung dalam bidang sejarah dan persejarahan. Kitab ini merupakan pendahuluan kepada kitab yang kedua iaitu al-‘Ibar wa diwan al-mubtada’ wa al-khabar fi ayyam al-‘arab wa al’ajam wa al-Barbar. B. Lewis mengatakan Muqaddimah merupakan ensiklopedia sintesis mengenai metodologi sains kebudayaan yang sangat penting dan boleh menolong ahli sejarah menghasilkan kajian yang benar dan ilmiah mengenai ilmu sejarah dan sosiologi. Setiap bab ada pendahuluan baru diikuti tajuk kecil/fasal. Isi kandungan yang termaktub dalam kitab tersebut adalah berkaitan dengan asasi yang berkenaan disiplin sejarah atau falsafah sejarah dan disiplin sosiologi atau falsafah sains sosial. Manakala tidak asasi merangkumi aspek geografi, kebudayaan, ilmu pengetahuan, perusahaan,peradaban dan berkaitan dengan politik, agama dan falsafah. Rangkuman percaturan ini adalah percubaan yang paling awal bagi memahami pola perubahan pada organisasi politik dan sosial manusia. Selain itu, Ibnu Khaldun memantapkan lagi serta memaku besikan hasil penulisannya dengan Pendekatan yang rasional, kaedah dan perbahasan yang analitikal dan terperinci. Secara tidak langsung, perkara ini telah menaikkan kredibiliti penulisannya dan menjadikan muqaddimah bahan kajian yang penting dan menarik. Ibnu Khaldun turut menambah dalam kritikannya terhadap penulis-penulis Sejarah Islam sebelumnya seperti Al-Masudi yang gemar memasukkan unsur-unsur sastera dan mitos legenda dalam menambah selera para pembaca untuk membacanya. Beliau telah mengetepikan persejarahan tradisional dan sikap konservatif golongan ahli sejarah tradisi. Melalui karyanya dapat dilihat bahawa Ibnu Khaldun merupakan penulis sejarah yang membezakan antara sejarah yang bersifat luaran dan dalaman. Gaya penulisan seperti ini penting untuk mengelakkan penulisan yang bersifat berat sebelah yang boleh menyumbang kepada tokok tambah dalam sejarah. Jelaslah bahawa berlaku perkembangan dalam karya penulisan sejarah zaman pensejarahan Islam.
Ibnu Khaldun mempunyai tradisinya yang tersendiri dalam menghasilkan penulisannya. Dikatakan penulisannya mirip-mirip menggunakan kaedah sosiologi iaitu menekankan dua aspek terpenting seperti sifat-sifat semula jadi dan sebab-sebab sesuatu peristiwa berlaku. Di sini kita dapat mentafsir bahawa Ibnu Khaldun tidak gemar memasukkan sebarang unsur yang tidak berkaitan dengan sejarah dan lebih suka mengutamakan kebenaran yang hakiki dalam hasil-hasil penulisannya. Beliau juga dapat kita gelar sebagai pendukung penulisan sejarah berbentuk objektif yang lebih menjadikan kebenaran sebagai prioriti dalam setiap karya. Pendapat ini disamakan dengan seorang tokoh objektiviti dalam sejarah yang mengatakan biarlah sejarah yang telah berlaku itu berdialog dengan para sejarawan dan ini dapat menggalakkan lagi hasil penulisan sejarah seperti yang benar-benar telah berlaku. Ibnu Khaldun turut menambah bahawa mengapa ahli sejarah sering berat sebelah kerana mempunyai semangat kepartian atau memihak pada sesuatu kepercayaan atau pendapat serta terlalu bergantung pada sumber yang diperoleh. Antara sebab-sebab lain adalah tidak memahami sumber secara teliti, meletak kepercayaan pada yang tidak benar atau keyakinan yang berlebihan terhadap sesuatu yang tidak pasti kebenarannya, tidak meletak kejadian dalam hubungan yang sebenar dengan tempat, memuji, memujuk dan anggap perbuatan mereka baik, jahil mengenai sesuatu hukum hakam mengenai sesebuah masyarakat di samping sering membesar-besarkan sesebuah peristiwa ataupun kejadian serta bersemangat assabiyah dalam memperjuangkan keagungan bangsa mereka.
Matlamat penulisan Ibnu Khaldun lebih bercorak kepada konsep yang berlandaskan kebenaran. Konsep assabiyah yang diperkenalkan oleh beliau mampu untuk membangunkan sesebuah individu, bangsa dan negara. Beliau berpendapat bahawa konsep assabiyah adalah ‘pemeliharaan, pertahanan, tuntutan dan semua urusan disepakati. Justeru, Ibnu Khaldun amat mementingkan kebenaran fakta sejarah untuk dijadikan tauladan oleh masyarakat pada akan datang untuk membangunkan bangsa dan negara. Pemikirannya ini menjadikan beliau dilabel sebagai sejarawan agung di dunia Islam kerana pemikiran beliau yang melampui usia dan zamannya. Kebenaran dalam penulisan Ibnu Khaldun merupakan penunjuk aras dalam perkembangan pensejarahan Islam. Selain itu, matlamat penulisan yang seperti ini membezakan beliau dengan penulis sejarah zaman sebelumnya yang lebih gemar memasukkan tokok tambah dalam penulisan. Hal ini dapat dibuktikan apabila Ibnu Khaldun telah mengkritik penulisan yang mengisahkan tentang Iskandar yang agung memasuki peti kaca untuk turun ke laut untuk melihat binatang laut, cerita pembinaan Kota Gerbang yang memiliki 10 000 pintu, cerita ‘Kota Tembaga’ yang dibina daripada tembaga di padang pasir Sijilmasah dan sebagainya. Cerita yang berkaitan dengan unsur yang tidak masuk akal dan bertentangan denga Al-Quran dan Hadis ditolak oleh Ibnu Khaldun sebagai penulisan sejarah. Jelaslah bahawa Ilmu Khaldun mementingkan kebenaran atau objektivi dalam penulisan yang menggambarkan perkembangan pensejarahan Islam semakin mara di hadapan.
Sumber memainkan peranan penting dalam penulisan sejarah. Oleh demikian dalam pensejarahan Islam era Ibnu Khaldun telah berlaku perkembangan. Pada zaman ini, sumber yang digunakan adalah yang sahih dan tidak dipertikaikan kebenarannya. Ibnu Khaldun membuat penilitian dalam menentukan sumber yang digunakan adalah sahih. Beliau juga mengungkapkan kekecewaannya terhadap sejarawan yang gagal dalam memahami sumber kerana berlaku kesamaran, gagal dalam mengaitkan sesuatu kejadian dengan setepatnya serta memperbesar-besarkan kejadian yang berlaku. Oleh yang demikian Ibnu Khaldun lebih cenderung untuk menggali sumber berdasarkan Al-Quran dan hadis. Selain itu, beliau juga merujuk kitab-kitab lama dan menapis segala fakta yang ada kebenaran dan menolak segala perkara yang tidak benar, yang sengaja direka-reka, palsu dan laporan yang sengaja direka-reka untuk menyedapkan kisah. Kaedah pemilihan sumbetr oleh Ibnu Khaldun telah membuktikan berlaku perkembangan dalam pensejarahan Islam dalam aspek pemilihan sumber. Hal ini dapat dibuktikan apabila Al-Mas’udi yang terpengaruh dengan pendekatan sastera dalam penulisannya telah dikritik hebat oleh Ibnu Khaldun yang menekankan penulisan sejarah harus perkara yang sebenar-benarnya berlaku tanpa tokok tambah. Sememangnya berlaku perkembangan dalam pensejarahan Islam dalam aspek kaedah penulisan, matlamat penulisan dan sumber sejarah pada era pensejarahan zaman Ibnu Khaldun.

No comments:

Post a Comment