Pukul sebelah kurang sepuluh
sepuluh menit surat ini tiba. Terima kasih Pak,” kataku kepada Pak Pos sudah tahunan lelaki separuh baya itu kukenal.
Di mendorong dan mengayuh sepeda tuannya., meneruskan tugas, mengantarkan
surat-surat dari rumah. Kudengar bunyi rantai sepedanya berderit-derit diiringi
tarikan nafasnya setiap kali menggejot pedal di jalan-jalan yang mengajak.
Sempat kulihat keringat berlelehan di lehernya.
Hai ! Surat siapa?’ Tanya
wati, kakaku, sambil merebut surat dari tanganku. Dia berlari menjauhi. Matanya
melihat ke alamat surat. O”, untuk nuning,” katanya sambil menyerahkan surat
itu kembali padaku sambil tersenyum. “Dari si dia, ya?” ujarnya seraya menuju
ruang tamu, melanjutkan kesenangannya, membaca.
Terburu-buru aku masuk kamar
dan menguncikan pintunya. Kudengar suara Kak Wati, mengucapkan selamat membaca
dengan nada suara bercanda. Kak Wati memang periang. Makanya, temannya segudang. Berbeda denganku.
Orang-orang bilang, Nuning suka menyedindiri di mana pun berada.
Seperti biasa, setiap
menerima surat dari Paris, kupeluk dulu surat itu erat-erat ke dadaku. Aku
merasa senang sekali setiap mendapat surat dari siapa pun. Apalagi dari Jantan,
sahabatku. Nama lengkapnya Jantan Sukoharjo. Jelas bukan ? Dia bukan anak
kelahiran Prancis.
Jantan berasal dari keluarga
baik-baik. Ayahnya berkedudukan di kotaku. Mereka terpandang. Kaya, dari hasil
kerja keras ditambah warisan dari orang tua. Keluarga itu dermawan pula. Taat pula
mereka beribadat. Komplitlah. Di SMA kami dulu, Jantan mendapat julukan
pemberontakan kelas wahid. Si Cerdas itu memiliki ide-ide yang cermelang dan
sering mengejutkan teman-teman, juga para guru. Dia itu kutu buku. Makanya
pintar. Jantan selalu dipilih menjadi ketua kelas. Namanya semakin harum ketika terpilih menjadi
ketua ikatan pelajar se-SMA di kotaku.
Terus terang, ya? Jantan
bukan kekasihku. Pacarnya adalah sahabatku. Fina namanya. Dia pun kutu buku.
Fina terkenal karena pintar dan pandai menarikan berbagai tarian daerah dan
balet. Orang tuanya sederhana. Tapi, keluarga kecil itu disegani. Mungkin karena
pintar, jujur, dan berwibawa. Ayah fina dipilih warga menjadi ketua rukun warga
di kampong kami. Fina adalah gadis tercantik yang perna kukenal di kota kami.
Banyak teman yang iri hati padanya. Sampai-sampai muncul fitnah atas dirinya.
Gossip itu merebak di sekolah. Kata penggosip, fina memoroti Jantan, dan lelaki
mana saja. Fina dikatakan senang dapat hadiah-hadiah mahal dari luar negeri. Diisukan
pula, Fina itu bukan jenis gadis yang setia. Dia itu tergolong cewe matre.
Hebatnya, baik Fina maupun Jantan
bergeming. Kata mereka, kafilah terus berlalu walaupun anjing menyalak-nyalak.
Walaupun pintar dan kaya, Jantan hidup sehari-hari sederhana seperti keseharian
orang tuanya. Tidak pernah memamerkan mobil mahal orang tuanya di sekolah, di
tempat pesta, atau di tempat-tempat tamasya. Kupikir, itu pun suatu kelebihan.
Itu ciri hidup yang bermutuh. Bukan cirri hidup yang bombastis, atau sok pamer.
Jantan memang modis. Tapi, pakaiannya sederhana, biasa saja bahan-bahannya.
Kadang-kadang, aku risih
juga. Bagaimana tidak, Jantan dan Fina kalau pacaran selalu mengajakku. Sering
aku menolak bila diajak mereka nonton film, atau berpergian, dan makan. Tapi
kalau diajak menyaksikan pembacaan puisi, cerita pendek, teater, music, atau
acara kesenian lainnya, tak pernah aku menolak. Rasanya, usai menyaksikan acara
seni-budaya, isi kepalaku bertambah kaya. Kepalaku menjadi tajam. Lalu, aku
teringat pendapat Goethe, seniman termashur asal Jerman. Dia bilang, bia
masyarakat meninggalkan sastra akan jadi biadab. Hiii! Ngeri! “Karenina yang
baik, “tulis jantan. Kata-kata itu seakan percikan rasa rindunya pada tanah air
yang sangat dicintainya.”Aku kangen sekali pada ultraviolet matahari
Nusantara,” tulisannya lebih lanjut. “Kota-kota di Eropa, khususnya Paris, kini
dikepung salju. Udarah membekukan segalanya. Sisa-sisa daun cemara yang
dibungkus putihnya salju pun beku dan kedinginan. Aku di apartemen jengkung ini
mengenangkan kehangatan matahari Indonesia. Negeriku hijau oleh dedaunan pohon
tinggi, juga gunung-gunung, rasanya memanggil-manggilku, ‘pulanglah sang
perantau!’. Beginilah menjadi orang rantau, atau beginilah rasanya menjadi
orang buangan oleh orang tuanya sendiri”.
Aku harus berhenti membaca
untuk menghapus untuk menghapus cairan hangat yang tiba-tiba meleleh dari keda
mataku ke pipiku yang mulai ditumbuhi satu-dua jerawat kecil-kecil. Surat
Jantan kali ini membuat senar jiwaku bergetar begitu kencang. Aku terharu.
“Ketahuilah olehmu, Karenina,
sahabatku. Sebagai anak tunggal, aku senang di rumah menikmati bacaan sambil
mendenarkan lagu-lagu contry. Dalam
lagu-lagu itu kudengarkan keluhan, ratap-tangis, atau kegembiraan sesaat
lapisan bawah yang merasa ditindas. Di dalam lagu-lagu itu kudengar nyanyian
pengembara, penggembala ternak, lenguh sapi, dan bunyi sirine di
pertambangan-pertambangan, pabrik-pabrik, atau tembang petani dan peladang.
Karenina, di negeri orang ini, aku punya teman-teman. Tapi mengapa aku merasa
sendirian? Memang, Fina selau menelpon, menyurat dengan kertas dan e-mail. Tawanya yang menyenangkan terasa
kurang tanpa wajah cantiknya di telpon, bukan?
Ayah-Ibu ini anak tunggalnya
menjadi si dewasa yang matang dan berkualitas, Ayah-Ibu ini anak semata wayang
mereka memiliki ilmu dan wawasan yang luas-lapang, yang dikeruk dari negeri
orang. Aku tahu itu tapi aku rindu rumah. Aku sering merasa sunyi. Lalu aku
bersahabat dengan penyair-penyair yang menjajakan puisi di tepi-tepi jalan kota
dunia ini. Puisi-puisi mereka, kurasakan menyuarakan kegaluan hatiku juga.
Ayah-Ibu ingin, aku tidak
gapte, gagap teknologi. Makanya, aku diizinkan menimba ilmu apa saja di dalam
maupun luar negeri. Biaya untuk menimbun ilmu bagiku tidak masalah. Orang tuaku
punya modal. Tapi, aku sering termenung. Ingat Iqbal, Yahim, Boim, Maryam,
jantuk, Tuyem, dan banyak lagi kawan kita yang tidak diizinkan melanjutkan
sekolah oleh orang tua mereka. Hanya sampai SMA. Alasan orang tua, tidak ada
dana lagi. Giliran adik-adik untuk sekolah. Biaya pendidikan mahal, memang.
Pada hal, Iqbal, Yahim, Boim, Maryam, jantuk, Tuyem dan lain-lainnya itu adalah
bibit-bibit unggul untuk jadi manusia pintar, jujur, dan bermutu pula moral
mereka. Saying sekali. Mereka patah di tengah lomba meningkat mutu kehidupan
dalam bidang apapun. Hebatnya, manusia-manusia paris tetap mencintai seni. Di
negeriku, para ekonomi bilang, baca novel itu buang-buang waktu. Alamaak!
Pantaslah, orang-orang di negeriku hanya cari kuasa dan kaya. Pantaslah, di
negeriku manusia berlomba-lomba cari duit Cuma untuk makan dan menambah
kekayaan. Kalau perlu dengan jalan pintas yang diharamkan semua agama.
Aku mengenal Agelique di Kota
Paris. Menyusul Michele. Keduanya penari dan pelukis karton. Masih sebaya kita,
tapi sudah punya prestasi di bidang mereka. Keduanya tidak lagi menetek biaya
studi para orang tua. Angelique dan Michele sudah mandiri. Aku malu sekali.
Bakat melukisku belum menghasilkan apa-apa. Bakan musikku serba tanggung. Di
paris rupanya aku adalah setengah butir debu dunia. Tak punya arti apa-apa. Mau
membanggakan kepintaran dan kekayaan orang tua di sini? Hem, haram Jadahlah!
Sudah kuno itu! Di Paris ini manusia menunjukkan prestasi-prestasi. Keren beken
tapi dari kocek wong tuwa itu pun kehidupan
yang palsu. Tak elok ditiru!
“Karenina
sahabatku yang baik…. Di Paris ini, aku bisa mengatakan apa saja. Jordan,
sahabatku, seorang jurnalis muda, kuliah nyambi kerja. Dia pun tidak
mengharapkan biaya dari orang tua. Orang Arab keturunan Inggris ini gigih
sekali membela kaum perempuan. Jurnalisme untuk perempuan. Itu moto Koran
mingguannya. Pembalasan suratmu. Bilang pada Fina, kirim lagi dong sambal
undang kering untuk lauk makanku. Dari Jantan, yang rindu berat pada ciliwung yang
butek, semua orang yang kusayangi, Indonesia”! sebulan lebih surat balasanku
tiada berbalas dari Jantan.
Ayah-Ibu ingin anak semata wayang mereka memiliki ilmu dan
wawasan yang luas-lapang, yang dikeruk dari negeri orang. Akau tahu itu, tapi,
aku rindu rumah, aku sering merasa sunyi.
Kutanya bacaan selangit. Eh bagaimana? Katamu
mau jadi wartawan? Sudah mulai nulis? Sudah mulai motret? Sudah mulai bikin
kartu, hem? Kata sahabat mudaku, Jordan, kalu mau nyemplung ke dunia
jurnalistik, jangan tanggung-tanggung! Jangan Csuma untuk cari duit. Tapi
jadikan media massa untuk unjuk ide dan sikap hidup. Kurasa, si Jordan jangkung
itu benar juga, ya? Bagaimana pendapatmu,
Karenina?
Karen yang manis…. Salam
rindu buat Om Gamal, ayahmu. Salam
takzim buat Tante Neneng, ibumu, yang enak masakannya itu. Kutunggu Fina di
rumahnya. Fina meraung sambil memeluknya
“Apa yang terjadi, Fin? Bisikku
di hari Minggu bergerimis kecil itu. “Jantan jadi korban penodongan sepulang nonton
konser musik. Dia melawan ketiga penodong itu. Menurut cerita Jordan, Jantan
dapat mengalahkan ketiga penodong dengan siletnya. Tapi, salah seorang penodong
menembak Jantan dengan pistol. Jantan roboh dan pistol. Jantan roboh dan tidak
tertolong…..”
(Villa
Kali Sari, Cimanggis, Agustus 2003)* Hc
Tema : kerinduan terhadap seorang
sahabat
Judul : surat seseorang sahabat
Tokoh : wati, nining, jantan, fina,
karenina, ikbal,yanimi, boim, mariyam, jantuk, tuyem, jordan, gamal, dan
neneng.
Alur : alur maju karena cerita
tersebut menceritakan seorang yang pergi merantau dan meninggalkan para
sahabatnya dan tidak perna ketemu lagi namun hanya melalui media komunikasi
Tempat : DI SMA, di tempat rekreasasi dan kota paris
Penokohan : menggunakan sudut padang orang pertama
tunggal (aku) dan ketiga jamak (mereka)
No comments:
Post a Comment