Wednesday, July 4, 2012

Cerpen: SURAT SEORANG SAHABAT


Pukul sebelah kurang sepuluh sepuluh menit surat ini tiba. Terima kasih Pak,” kataku kepada Pak Pos  sudah tahunan lelaki separuh baya itu kukenal. Di mendorong dan mengayuh sepeda tuannya., meneruskan tugas, mengantarkan surat-surat dari rumah. Kudengar bunyi rantai sepedanya berderit-derit diiringi tarikan nafasnya setiap kali menggejot pedal di jalan-jalan yang mengajak. Sempat kulihat keringat berlelehan di lehernya.
Hai ! Surat siapa?’ Tanya wati, kakaku, sambil merebut surat dari tanganku. Dia berlari menjauhi. Matanya melihat ke alamat surat. O”, untuk nuning,” katanya sambil menyerahkan surat itu kembali padaku sambil tersenyum. “Dari si dia, ya?” ujarnya seraya menuju ruang tamu, melanjutkan kesenangannya, membaca.

Terburu-buru aku masuk kamar dan menguncikan pintunya. Kudengar suara Kak Wati, mengucapkan selamat membaca dengan nada suara bercanda. Kak Wati memang periang.  Makanya, temannya segudang. Berbeda denganku. Orang-orang bilang, Nuning suka menyedindiri di mana pun berada.
Seperti biasa, setiap menerima surat dari Paris, kupeluk dulu surat itu erat-erat ke dadaku. Aku merasa senang sekali setiap mendapat surat dari siapa pun. Apalagi dari Jantan, sahabatku. Nama lengkapnya Jantan Sukoharjo. Jelas bukan ? Dia bukan anak kelahiran Prancis.
Jantan berasal dari keluarga baik-baik. Ayahnya berkedudukan di kotaku. Mereka terpandang. Kaya, dari hasil kerja keras ditambah warisan dari orang tua. Keluarga itu dermawan pula. Taat pula mereka beribadat. Komplitlah. Di SMA kami dulu, Jantan mendapat julukan pemberontakan kelas wahid. Si Cerdas itu memiliki ide-ide yang cermelang dan sering mengejutkan teman-teman, juga para guru. Dia itu kutu buku. Makanya pintar. Jantan selalu dipilih menjadi ketua kelas.  Namanya semakin harum ketika terpilih menjadi ketua ikatan pelajar se-SMA di kotaku.
Terus terang, ya? Jantan bukan kekasihku. Pacarnya adalah sahabatku. Fina namanya. Dia pun kutu buku. Fina terkenal karena pintar dan pandai menarikan berbagai tarian daerah dan balet. Orang tuanya sederhana. Tapi, keluarga kecil itu disegani. Mungkin karena pintar, jujur, dan berwibawa. Ayah fina dipilih warga menjadi ketua rukun warga di kampong kami. Fina adalah gadis tercantik yang perna kukenal di kota kami. Banyak teman yang iri hati padanya. Sampai-sampai muncul fitnah atas dirinya. Gossip itu merebak di sekolah. Kata penggosip, fina memoroti Jantan, dan lelaki mana saja. Fina dikatakan senang dapat hadiah-hadiah mahal dari luar negeri. Diisukan pula, Fina itu bukan jenis gadis yang setia. Dia itu tergolong cewe matre.
Hebatnya, baik Fina maupun Jantan bergeming. Kata mereka, kafilah terus berlalu walaupun anjing menyalak-nyalak. Walaupun pintar dan kaya, Jantan hidup sehari-hari sederhana seperti keseharian orang tuanya. Tidak pernah memamerkan mobil mahal orang tuanya di sekolah, di tempat pesta, atau di tempat-tempat tamasya. Kupikir, itu pun suatu kelebihan. Itu ciri hidup yang bermutuh. Bukan cirri hidup yang bombastis, atau sok pamer. Jantan memang modis. Tapi, pakaiannya sederhana, biasa saja bahan-bahannya.
Kadang-kadang, aku risih juga. Bagaimana tidak, Jantan dan Fina kalau pacaran selalu mengajakku. Sering aku menolak bila diajak mereka nonton film, atau berpergian, dan makan. Tapi kalau diajak menyaksikan pembacaan puisi, cerita pendek, teater, music, atau acara kesenian lainnya, tak pernah aku menolak. Rasanya, usai menyaksikan acara seni-budaya, isi kepalaku bertambah kaya. Kepalaku menjadi tajam. Lalu, aku teringat pendapat Goethe, seniman termashur asal Jerman. Dia bilang, bia masyarakat meninggalkan sastra akan jadi biadab. Hiii! Ngeri! “Karenina yang baik, “tulis jantan. Kata-kata itu seakan percikan rasa rindunya pada tanah air yang sangat dicintainya.”Aku kangen sekali pada ultraviolet matahari Nusantara,” tulisannya lebih lanjut. “Kota-kota di Eropa, khususnya Paris, kini dikepung salju. Udarah membekukan segalanya. Sisa-sisa daun cemara yang dibungkus putihnya salju pun beku dan kedinginan. Aku di apartemen jengkung ini mengenangkan kehangatan matahari Indonesia. Negeriku hijau oleh dedaunan pohon tinggi, juga gunung-gunung, rasanya memanggil-manggilku, ‘pulanglah sang perantau!’. Beginilah menjadi orang rantau, atau beginilah rasanya menjadi orang buangan oleh orang tuanya sendiri”.
Aku harus berhenti membaca untuk menghapus untuk menghapus cairan hangat yang tiba-tiba meleleh dari keda mataku ke pipiku yang mulai ditumbuhi satu-dua jerawat kecil-kecil. Surat Jantan kali ini membuat senar jiwaku bergetar begitu kencang. Aku terharu.
“Ketahuilah olehmu, Karenina, sahabatku. Sebagai anak tunggal, aku senang di rumah menikmati bacaan sambil mendenarkan lagu-lagu contry. Dalam lagu-lagu itu kudengarkan keluhan, ratap-tangis, atau kegembiraan sesaat lapisan bawah yang merasa ditindas. Di dalam lagu-lagu itu kudengar nyanyian pengembara, penggembala ternak, lenguh sapi, dan bunyi sirine di pertambangan-pertambangan, pabrik-pabrik, atau tembang petani dan peladang. Karenina, di negeri orang ini, aku punya teman-teman. Tapi mengapa aku merasa sendirian? Memang, Fina selau menelpon, menyurat dengan kertas dan e-mail. Tawanya yang menyenangkan terasa kurang tanpa wajah cantiknya di telpon, bukan?
Ayah-Ibu ini anak tunggalnya menjadi si dewasa yang matang dan berkualitas, Ayah-Ibu ini anak semata wayang mereka memiliki ilmu dan wawasan yang luas-lapang, yang dikeruk dari negeri orang. Aku tahu itu tapi aku rindu rumah. Aku sering merasa sunyi. Lalu aku bersahabat dengan penyair-penyair yang menjajakan puisi di tepi-tepi jalan kota dunia ini. Puisi-puisi mereka, kurasakan menyuarakan kegaluan hatiku juga.
Ayah-Ibu ingin, aku tidak gapte, gagap teknologi. Makanya, aku diizinkan menimba ilmu apa saja di dalam maupun luar negeri. Biaya untuk menimbun ilmu bagiku tidak masalah. Orang tuaku punya modal. Tapi, aku sering termenung. Ingat Iqbal, Yahim, Boim, Maryam, jantuk, Tuyem, dan banyak lagi kawan kita yang tidak diizinkan melanjutkan sekolah oleh orang tua mereka. Hanya sampai SMA. Alasan orang tua, tidak ada dana lagi. Giliran adik-adik untuk sekolah. Biaya pendidikan mahal, memang. Pada hal, Iqbal, Yahim, Boim, Maryam, jantuk, Tuyem dan lain-lainnya itu adalah bibit-bibit unggul untuk jadi manusia pintar, jujur, dan bermutu pula moral mereka. Saying sekali. Mereka patah di tengah lomba meningkat mutu kehidupan dalam bidang apapun. Hebatnya, manusia-manusia paris tetap mencintai seni. Di negeriku, para ekonomi bilang, baca novel itu buang-buang waktu. Alamaak! Pantaslah, orang-orang di negeriku hanya cari kuasa dan kaya. Pantaslah, di negeriku manusia berlomba-lomba cari duit Cuma untuk makan dan menambah kekayaan. Kalau perlu dengan jalan pintas yang diharamkan semua agama.
Aku mengenal Agelique di Kota Paris. Menyusul Michele. Keduanya penari dan pelukis karton. Masih sebaya kita, tapi sudah punya prestasi di bidang mereka. Keduanya tidak lagi menetek biaya studi para orang tua. Angelique dan Michele sudah mandiri. Aku malu sekali. Bakat melukisku belum menghasilkan apa-apa. Bakan musikku serba tanggung. Di paris rupanya aku adalah setengah butir debu dunia. Tak punya arti apa-apa. Mau membanggakan kepintaran dan kekayaan orang tua di sini? Hem, haram Jadahlah! Sudah kuno itu! Di Paris ini manusia menunjukkan prestasi-prestasi. Keren beken tapi dari kocek wong tuwa itu pun kehidupan yang palsu. Tak elok ditiru!

“Karenina sahabatku yang baik…. Di Paris ini, aku bisa mengatakan apa saja. Jordan, sahabatku, seorang jurnalis muda, kuliah nyambi kerja. Dia pun tidak mengharapkan biaya dari orang tua. Orang Arab keturunan Inggris ini gigih sekali membela kaum perempuan. Jurnalisme untuk perempuan. Itu moto Koran mingguannya. Pembalasan suratmu. Bilang pada Fina, kirim lagi dong sambal undang kering untuk lauk makanku. Dari Jantan, yang rindu berat pada ciliwung yang butek, semua orang yang kusayangi, Indonesia”! sebulan lebih surat balasanku tiada berbalas dari Jantan.
Ayah-Ibu ingin anak  semata wayang mereka memiliki ilmu dan wawasan yang luas-lapang, yang dikeruk dari negeri orang. Akau tahu itu, tapi, aku rindu rumah, aku sering merasa sunyi.
Kutanya bacaan selangit. Eh bagaimana? Katamu mau jadi wartawan? Sudah mulai nulis? Sudah mulai motret? Sudah mulai bikin kartu, hem? Kata sahabat mudaku, Jordan, kalu mau nyemplung ke dunia jurnalistik, jangan tanggung-tanggung! Jangan Csuma untuk cari duit. Tapi jadikan media massa untuk unjuk ide dan sikap hidup. Kurasa, si Jordan jangkung itu benar juga, ya?  Bagaimana pendapatmu, Karenina?
Karen yang manis…. Salam rindu  buat Om Gamal, ayahmu. Salam takzim buat Tante Neneng, ibumu, yang enak masakannya itu. Kutunggu Fina di rumahnya. Fina  meraung sambil memeluknya
“Apa yang terjadi, Fin? Bisikku di hari Minggu bergerimis kecil itu.  “Jantan jadi korban penodongan sepulang nonton konser musik. Dia melawan ketiga penodong itu. Menurut cerita Jordan, Jantan dapat mengalahkan ketiga penodong dengan siletnya. Tapi, salah seorang penodong menembak Jantan dengan pistol. Jantan roboh dan pistol. Jantan roboh dan tidak tertolong…..”

(Villa Kali Sari, Cimanggis, Agustus  2003)* Hc
    
Tema               : kerinduan terhadap seorang sahabat
Judul               : surat seseorang sahabat
Tokoh            : wati, nining, jantan, fina, karenina, ikbal,yanimi, boim, mariyam, jantuk, tuyem, jordan, gamal, dan neneng.
Alur               : alur maju karena cerita tersebut menceritakan seorang yang pergi merantau dan meninggalkan para sahabatnya dan tidak perna ketemu lagi namun hanya melalui media komunikasi
Tempat            : DI SMA,  di tempat rekreasasi dan kota paris
Penokohan     : menggunakan sudut padang orang pertama tunggal (aku) dan ketiga jamak (mereka)

No comments:

Post a Comment