Sunday, February 12, 2012

PENGARUH PENDIDIKAN DI LINGKUNGAN FORMAL TERHADAP PERKEMBANGAN MORAL REMAJA INDONESIA

Nama               : Ayu Astriani
Stambuk           : A1D2 10 032
Mata Kuliah        : Pengantar Pendidikan


       Pendidikan di lingkungan formal, seperti yang kita ketahui, mengajarkan pendidikan akademis dan juga pendidikan moral. Lingkungan formal, sekolah misalnya, terkadang hanya sebagai formalitas nilai akademik yang terkadang tidak mencerminkan nilai yang sesungguhnya. Ia hanya dibutuhkan sebagai syarat melanjutkan studi di lingkungan formal yang lebih tinggi tingkatannya. Itulah sebabnya, muncul sebuah paradigma perusak moral yaitu “sekolah hanya untuk mencari ijasah dan pekerjaan, bukan ilmu”. Paradigma inilah yang mengendurkan niat masyarakat, khususnya masyarakat kurang mampu, untuk menyekolahkan anak mereka.
Lingkungan formal dinilai sebagai tempat peperangan yang menghasilkan banyak korban pengangguran. Remaja-remaja yang bersekolah hanya bisa memikirkan nilai, karena tingginya standar yang harus dicapai. Tidak ada keinginan untuk berilmu. Hanya keinginan untuk bernilai. Memiliki nilai yang cukup dan nilai itu bisa bersaing untuk tahap selanjutnya. Inilah kebobrokan moral yang nyata. Kenapa remaja kita hanya instant-instant saja tanpa mengetahui proses dari ilmu yang didapatkan? Kenapa pemerintah
hanya menghargai secuil manusia yang mau belajar di indonesia, menekuni bidangnya? Apakah ada harapan lain yang bisa di berikan oleh lingkungan formal agar kebobrokan ini bisa berubah menjadi lebih baik lagi?
REMAJA
Masa remaja adalah masa transisi antara masa kanak-kanak dengan dewasa dan relatif belum mencapai tahap kematangan mental dan sosial sehingga mereka harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan. Banyak sekali life events yang akan terjadi yang tidak saja akan menentukan kehidupan masa dewasa tetapi juga kualitas hidup generasi berikutnya sehingga menempatkan masa ini sebagai masa kritis.
“Di negera-negara berkembang masa transisi ini berlangsung sangat cepat. Bahkan usia saat berhubungan seks pertama ternyata selalu lebih muda daripada usia ideal menikah” (Kiragu, 1995:10, dikutip dari Iskandar, 1997).
Pengaruh informasi global (paparan media audio-visual) yang semakin mudah diakses justru memancing anak dan remaja untuk mengadaptasi kebiasaan-kebiaasaan tidak sehat seperti merokok, minum minuman berakohol, penyalahgunaan obat dan suntikan terlarang, perkelahian antar-remaja atau tawuran (Iskandar, 1997).
Kadangkala pencetus perilaku atau kebiasaan tidak sehat pada remaja justru adalah akibat ketidak-harmonisan hubungan ayah-ibu, sikap orangtua yang menabukan pertanyaan anak/remaja tentang fungsi/proses reproduksi dan penyebab rangsangan seksualitas (libido), serta frekuensi tindak kekerasan anak (child physical abuse).
Mereka cenderung merasa risih dan tidak mampu untuk memberikan informasi yang memadai mengenai alat reproduksi dan proses reproduksi tersebut. Karenanya, mudah timbul rasa takut di kalangan orangtua dan guru, bahwa pendidikan yang menyentuh isu perkembangan organ reproduksi dan fungsinya justru malah mendorong remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah (Iskandar, 1997).
Kondisi lingkungan sekolah, pengaruh teman, ketidaksiapan guru untuk memberikan pendidikan kesehatan reproduksi, dan kondisi tindak kekerasan sekitar rumah tempat tinggal juga berpengaruh (O’Keefe, 1997: 368-376).
Remaja yang tidak mempu-nyai tempat tinggal tetap dan tidak mendapatkan perlin-dungan dan kasih sayang orang tua, memiliki lebih banyak lagi faktor-faktor yang berkontribusi, seperti: rasa kekuatiran dan ketakutan yang terus menerus, paparan ancaman sesama remaja jalanan, pemerasan, penganiayaan serta tindak kekerasan lainnya, pelecehan seksual dan perkosaan (Kipke et al., 1997:360-367). Para remaja ini berisiko terpapar pengaruh lingkungan yang tidak sehat, termasuk penyalahgunaan obat, minuman beralkohol, tindakan kriminalitas, serta prostitusi (Iskandar, 1997).
MASALAH PENDIDIKAN FORMAL
Pendidikan formal umumnya didirikan oleh pemerintah atau lembaga tertentu yang berkompeten dalam bidang pendidikan. Contohnya Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Dasar Luar Biasa, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama dan seterusnya. Pendidikan formal ini selain didirikan oleh pihak pemerintah juga didirikan pula oleh Pihak Swasta. Keberadaan pihak swasta menjadikan pendidikan formal semakin mudah untuk didapat. Dari keberadaan pendidikan formal, masalah yang sering muncul adalah kurangnya tenaga pendidik yang  profesional. Banyak para guru dalam mengajar tidak menggunakan metode pengajaran yang baik dan kurangnya jiwa pendidik, mereka hanya bisa mengajar tapi tidak bisa mendidik.
Pemerintah menyediakan fasilitas dengan tenaga guru secara tidak seimbang. Sebagian besar guru mengajar tanpa memperdulikan nilai-nilai moral yang seharusnya didapat. Apa yang terjadi jika guru hanya menegajarkan pendidikan yang bersifat akademis tanpa melihat sisi moral?
Saran saya terhadap pemerintah, agar meningkatkan kemampuan guru agar lebih kompeten. Lebih memiliki jiwa pengajar yang seimbang dengan moral. Benyak kasus yang terjadi pada guru yang melakukan pelanggaran misalnya korupsi, kekerasan, dan kemalasan.
Seperti yang kita ketahui, remaja adalah labil pemikirannya. Mereka perlu dididik pengetahuan dan moralnya. Lingkungan formal seperti sekolah juga sangat berperan dalam perkembangan moral remaja. Sekolah dapat menjadi wadah penyeimbang jika lingkungan informal dan non-formal remaja tersebut tidak bisa memberikan kontribusi baik terhadap moral mereka. Banyaknya pengaruh-pengaruh luar akibat globalisasi yang membawa dampak buruk terhadap moral, bisa di cegah dengan pemberian wawasan keilmuan dan moral terhadap remaja tentang perkembangan buruk dari globalisasi itu sendiri. Lingkungan formal intinya sangat perlu dikembangkan lagi, khususnya tenaga pendidik, untuk mencegah terjadinya kebobrokan moral anak bangsa khususnya remaja indonesia.



DAFTAR PUSTAKA


http://infomediakita.blogspot.com/2010/04/makalah-pengaruh-pendidikan-formal-non.html

No comments:

Post a Comment