Elma yang baru saja dihukum, lagi-lagi
diejek. Ia mulai murung di dalam kelas. Melamun. Melayangkan pikirannya yang
sepertinya sangat kacau. Walau dua sahabat yang selalu stand by menemaninya
di tempat duduk pojok bagian kiri berkicau, diabaikannya. Wajahnya gelisah.
Entah karena apa. Rona juga bingung dan heran sendiri. Gusti memang sangat
tega. Pasti ini gara-gara Elma hampir jatuh ketika mengeluarkan kaki dari tong
sampah tadi saat dihukum. Bonus yang Elma dapatkan karena ia telaten
mengerjakan PR di sekolah. Padahal, Gusti juga dihukum.
Mungkin Gusti hanya lihat sekilas dari fisik
Elma yang terbilang aneh. Kering kerontang bak orang tidak makan setahun,
tonggos, rambut awul-awulan, tangan yang bisa dibilang bukan tangan karena
hanya tulangnya saja yang menghuni di dalamnya, dan seluruh sendi yang
sepertinya sulit menopang badan. Bahkan terkadang untuk berdiri saja Elma
terjatuh. Kalau sudah begitu, tawa mulai terdengar keras di kelas. Apa
penyebabnya hingga kini masih jadi tanda tanya besar.
“Eh, tema seminar lo apaan Ron?” tanya
Gisela. Si juara umum ini selalu bertanya hal-hal yang berbobot.
“Gue? Apa ya? Ngambil bullying aja
deh.”
“Kalau lo apaan?” Sku yang giliran tanya pada
dua sahabatku ini.
“Tau deh. Belum kepikiran,” jawab Giovanni.
“WOI!!! Pak Irwan! Pak Irwan!” Suara khas
Gusti membengkakkan telinga Rona. Serentak mereka bertiga kompak menutup
telinga. Suara cemprengnya melengking membuat semua orang merasakan bahwa
kiamat segera datang menghampiri. Itulah bad habbit Gusti.
Setelah bel ganti pelajaran atau bel masuk
sehabis istirahat berbunyi, Gusti and the Gank bermain di luar
kelas. Ketika guru datang, mereka kebakaran jenggot. Semuanya mulai sibuk
menyelamatkan diri dari kecaman guru. Mulutnya bungkam seketika. Gisela selaku
ketua kelas lelah menegur Gusti.
“Percuma” kata Gisela.
* * *
Posisi Rona yang sudah nyaman tiba-tiba
buyar. Badannya yang berlenggok persis seperti orang scoliosis,
jadi berantakan. Semua bisa mangakui bawa Gusti tak ada matinya. Tidak ada
jeranya! Tidak punya rasa malu dan takut!
“Hey! Kalian ini! Temannya sedang maju malah
diganggu. Tidakkah kalian bisa melihat perjuangan sesorang. Seolah kalian yang
paling benar saja!” Bu Theres mulai marah. Emosinya menaik. Tapi tetap saja
kelas gaduh. Gusti tidak terpengaruh. Ia tetap asyik menghina Elma semaksimal
mungkin.
Ternyata kini kelompok 8 persentasi
diwakilkan Elma. Sebisa mungkin aku memperhatikan Elma. Meskipun Bu Theres
mulai mengernyitkan dahi. Suara Elma memang tidak terdengar jelas. Aku terus
berusaha memahami apa yang disampaikannya.
Tugas Elma selesai. Iya berjalan menuju
singgasananya. Dengan badannya yang kurus dan bungkuk itu ia mulai menjadi
bahan olok-olok.
“Eh tanda tangannya Ma,” kali ini giliran Ferry
melawak sambil menyodorkan kertas dua lembar dan sebauh bolpoint faster yang
menurutku sumpah sama sekali tidak lucu! Lagi-lagi tawa membahana seluruh isi
kelas. Elma hanya pergi sambil mengacuhkan Ferry. Lagi pula kalau aku jadi Elma
pasti aku tidak akan diam begitu. Tidak tahan! Kerap kali dicemooh tetap saja
tidak melakukan perlawanan. Batin tertekan pastinya. Pasti Gusti dan Ferry
puasnya bukan main. Mereka berdua selalu kompak dalam hal membully.
* * *
Ciri-ciri korban bullying.
Tak perlu sang anak bercerita bahwa ia sering
dipukuli. Cukup bercerita bahwa sang anak dikucilkan atau diasingkan malah
disisihkan dari pergaulan.
Mataku nanar. Kutatap sekali lagi layar
monitor di warnet langgananku itu. Tubuhku terkulai lemas. Kaget tiada karuan.
Aku mulai berusaha mengatur napas. Membenarkan kembali posisi tempat dudukku.
Dikucilkan? Aku! Itu aku! Dulu aku juga sempat mengalami hal seperti itu. Malu
rasanya. Sedih. Bingung. Depresi. Tidak percaya diri. Sulit berkonsentrasi dan
berpikir jernih. Ciri-ciri itu! Aku!
Ternyata selama ini. Aku salah menganggap
Elma. Sifat orang berbeda-beda. Aku supel. Tidak sulit menarik perhatian
teman-teman. Sedangkan Elma tidak memilik sifat supel. Susah bersosialisasi.
Aku anggota OSIS, Elma bukan. Aku ketua Tim Mading, Elma bukan apa-apa. Tapi
aku salah. Aku tahun lalu sama seperti Elma. Tidak bisa bergabung dengan
temanku yang popular. Hanya bersahabat dengan yang itu-itu saja. Apa karena aku
tidak pernah mengikuti mode terbaru? Apa karena aku tidak pernah mengikuti trend
rambut terbaru? Tidak memakai softlens? Sampai aku bertemu dua sahabat yang
merubahku. Apa bedanya aku dengan Elma. Tidak ada sama sekali. Aku juga
tertekan. Dulu aku menafsirkan bahwa aku diatas Elma. Elma tidak ranking aku
iya. Aku supel Elma pendiam. Aku salah! Sadarkan pikiranku, Tuhan.
Kukedipkan mataku beberapa kali. Tanpa buang
waktu aku segera mengopyartikel tersebut dalam flashdiskku.
Kuklik End. Lalu kubayar semua biaya netku.
* * *
“Siap lo persentasi?” tanya Giovanni
meyakinkan.
“ Mudah-mudahan. Eh, jangan lupa sama yang
gue bilang tadi ya.”
“Kelompok selanjutnya. Kelompoknya Anendya,”
suara bu Theres berhasil membuatku menjadi panik seketika.
“Gio jangan lupa!” Dari kejauhan, Gio
mengacungkan jempolnya.
“Saya persilahkan penyaji menyampaikan garis
besar makalah.” Seketika jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya.
Giliranku menyadarkan dan membuat perubahan pada remaja masa kini.
“Terima kasih atas kesempatan yang diberikan
moderator. Saya akan menjelaskan tentang bullying.” Kuklik
tombol space, segera laptop menunjukkan halaman selanjutnya
pada power pointku. “Mungkin agak sulit mencari padanan kata bahasa
Indonesia yang tepat untuk mendefenisikan bullying. Secara
sederhana, bullying merupakan penggunaan kekuasaan untuk
menyakiti seseorang atau kelompok. Masih sedikit orang yang mengerti
tentang bullying.Padahal saya yakin pasti banyak sekali remaja
sekarang yang sering melakukannya. Ciri-ciri pelaku bullyimg adalah
sebagai berikut…” Aku menjelaskan dengan sebaik mungkin agar semua perhatian
tertuju padaku.
“Mungkin peserta ada yang ingin menyampaikan
saran, kritik, pendapat atau pertanyaan?” Suara Febriant kali ini tidak
membuatku gugup tapi malahku nanti-nanti. ‘Ayo Gio! Cepat!’ hatiku
berseru.
“Terima kasih atas kesempatan yang diberikan moderator.
Saya Giovanni. Saya kurang mengerti dengan definisi bullying yang
tadi penyaji sampaikan. Bisakah anda menjelaskannya dalam bentuk contoh? Terima
kasih,”
“Terima kasih pertanyaan dari saudari
Giovanni. Dimohon penyaji menjawab.”
“Baik. Pasti anda semua mengetahui Gusti.”
Gusti bingung dan pasti ia protes dengan pernyataanku. Matanya yang belok dan
hampir keluar itu menatapku kesal. “Kerap kali ia meledek Elma,” Kali ini Elma
yang bengong. Bola matanya diputar untuk mengerti maksudku. “Kita sendiri tidak
tahu penyebabnya. Tanpa Gusti ketahui Elma sering menangis. Dampak yang Gusti
berikan pada Elma sangat besar. Elma sering tertekan. Muram. Tapi kita sendiri?
Mengapa kita tidak perduli pada Elma? Apa karena kita merasa kita lebih di atas
Elma. Gengsi? Tahukah anda semua? Jika anda sudah menunjukkan sikap seperti ini
berarti kita juga sudah melakukan tindakan bullying. Mari tunjukkan
perubahan yang mendasar pada diri kita sebagai generasi yang sadar akan
kekurangan bangsanya,”
Tepuk tangan terdengar jelas. Semua murid
tercengang. Ada yang beberapa berbisik.
“Bullying….. Bullying!”
Makian Gusti pada Elma. Jengkelnya aku terus memarahi Gusti dari kejauhan.
Mukaku masih sangat jutek. Kelas menyemburkan tawa. Aku benar-benar dengki
padanya. Ternyata usahaku tidak membuahkan hasil
* * *
Kutarik ujung sabukku ke kiri agar posisinya
tepat di tengah sembari menunggu Gisela yang tampaknya berperang dengan bau
super sedap, kamar mandi.
“Lagian Elmanya juga sih. Harusnya Elma tuh
nggak usah mikirin hal kecil gitu. Gue aja dibawa enjoy. Diledek
secuil gitu aja repot.”
“Dasar sifatnya susah. Dari Tuhan udah gitu.
Mau diapain lagi.” Langkah sepatu dua sahabat Elma perlahan kian tak terdengar.
Aku memikirkan pernyataan mereka. Tepat tidak tepat, tetapi tidak dapat diabaikan
juga.
“Ayo Nen. Jangan kelamaan. Nanti kayak Linda
lho nyanyi kicir-kicir.” Aku pergi dengan masih meninggalkan beberapa
pertanyaan menggantung.
* * *
“Bu Theres lagi sibuk. Kita dikasih tanggung
jawab dan kebebasan biar pelajaran Budi pekerti ini nggak kosong. Yang jelas
semua anak-anak harus kerja! Gue mau nyuruh mereka semua jelasin impian mereka,
satu-satu di depan!” Memang si brilliant ini tidak pernah kehabisan akal!
“Setuju!!!” dukung Giovanni
“Ok… Ok… Ehem… Teman-teman perhatiannya
dong,” Gisela mulai beraksi bersama seksi keamanan. “Sekarang kita pengin
kalian semua….” Aku terus memikirkan rencana besar untuk mempersentasikan
impianku berhubung aku benomor absen awal-awal.
“Yang pertama Agnes.” Agnes maju dan muali
menceritakan impiannya. Aku sibuk sendiri.
“Absen 3, Anen.” Mataku terbelalak. Aku maju
ke depan kelas dan mulai berceloteh.
“Satu impian yang mendasar, pengin Gusti
sadar.”
“Sadar apa? OJP alias Ora Jelas Pisan!!!!
Ha! Ha! Ha! Ha! Ha!” Posisiku setara dengan Elma karena lawakan Gusti.
“Absen 7, Elma.”
“Gio bentar. Gue mau ngobrol sama Elma.”
Setelah diizinkan Giovanni selaku pemandu acara, aku menarik lengan Elma yang
sudah terlanjur maju ke depan kelas menuju ke luar kelas.
“Elma nanti mau ngomong apa?”
“Saya pengin gemuk doang. Biar kalau saya
berdiri kuat dan Gusti nggak ngeledekin saya lagi.” Aku tersenyum mendengar
harapan kecilnya.
“Ya udah kita masuk yuk. Kamu ke depan kelas
ya.”
Kelas gaduh susah sekali ditenangkan.
Terutama ketua gank, Gusti. Sulit Elma mendapat perhatian.
“Aku…” Kelas semakin mirip dengan pasar. Aku
yang juga berusaha tidak membuahkan hasil. Kasihan Elma tersendat-sendat.
“Aku… Aku…. Aku nggak mau diledekin lagi!”
Elma berlari menuju tempat duduknya. Tangisnya pecah sekejap. Semua anak yang
suka meledek Elma, membentukkan mulut menyerupai huruf O dan semuanya mematung
sesaat.
Elma menunduk sambil menangis tersedu-sedu di
tempat duduknya. Aku mendekatinya. Tiba-tiba, ada tangan kurus dan kering ikut
menyentuh Elma sembari mengucapkan kata ‘Maaf’. Itu Gusti! Elma
tersenyum. Aku benar-benar bangga pada Elma. Ia dapat menyadarkan Gusti dengan
caranya sendiri. Bukan karenaku.
Aku dan Elma. Kami sama. Kami satu. Kami tak beda.
Kami mempunyai jiwa yang menyatu. Antara Aku dan Elma. Tersisip sebuah rahasia
besar dan ruang hampa. Cukup kami yang tahu
No comments:
Post a Comment