Tuesday, January 24, 2012

Cerpen: Sesuatu Antara Kami

Oleh Anen di kolomkita.com
Elma yang baru saja dihukum, lagi-lagi diejek. Ia mulai murung di dalam kelas. Melamun. Melayangkan pikirannya yang sepertinya sangat kacau. Walau dua sahabat yang selalu stand by menemaninya di tempat duduk pojok bagian kiri berkicau, diabaikannya. Wajahnya gelisah. Entah karena apa. Rona juga bingung dan heran sendiri. Gusti memang sangat tega. Pasti ini gara-gara Elma hampir jatuh ketika mengeluarkan kaki dari tong sampah tadi saat dihukum. Bonus yang Elma dapatkan karena ia telaten mengerjakan PR di sekolah. Padahal, Gusti juga dihukum.
Mungkin Gusti hanya lihat sekilas dari fisik Elma yang terbilang aneh. Kering kerontang bak orang tidak makan setahun, tonggos, rambut awul-awulan, tangan yang bisa dibilang bukan tangan karena hanya tulangnya saja yang menghuni di dalamnya, dan seluruh sendi yang sepertinya sulit menopang badan. Bahkan terkadang untuk berdiri saja Elma terjatuh. Kalau sudah begitu, tawa mulai terdengar keras di kelas. Apa penyebabnya hingga kini masih jadi tanda tanya besar.

“Eh, tema seminar lo apaan Ron?” tanya Gisela. Si juara umum ini selalu bertanya hal-hal yang berbobot.
“Gue? Apa ya? Ngambil bullying aja deh.”
“Kalau lo apaan?” Sku yang giliran tanya pada dua sahabatku ini.
“Tau deh. Belum kepikiran,” jawab Giovanni.
“WOI!!! Pak Irwan! Pak Irwan!” Suara khas Gusti membengkakkan telinga Rona. Serentak mereka bertiga kompak menutup telinga. Suara cemprengnya melengking membuat semua orang merasakan bahwa kiamat segera datang menghampiri. Itulah bad habbit Gusti.
Setelah bel ganti pelajaran atau bel masuk sehabis istirahat berbunyi, Gusti and the Gank bermain di luar kelas. Ketika guru datang, mereka kebakaran jenggot. Semuanya mulai sibuk menyelamatkan diri dari kecaman guru. Mulutnya bungkam seketika. Gisela selaku ketua kelas lelah menegur Gusti.
“Percuma” kata Gisela.
* * *
Posisi Rona yang sudah nyaman tiba-tiba buyar. Badannya yang berlenggok persis seperti orang scoliosis, jadi berantakan. Semua bisa mangakui bawa Gusti tak ada matinya. Tidak ada jeranya! Tidak punya rasa malu dan takut!
“Hey! Kalian ini! Temannya sedang maju malah diganggu. Tidakkah kalian bisa melihat perjuangan sesorang. Seolah kalian yang paling benar saja!” Bu Theres mulai marah. Emosinya menaik. Tapi tetap saja kelas gaduh. Gusti tidak terpengaruh. Ia tetap asyik menghina Elma semaksimal mungkin.
Ternyata kini kelompok 8 persentasi diwakilkan Elma. Sebisa mungkin aku memperhatikan Elma. Meskipun Bu Theres mulai mengernyitkan dahi. Suara Elma memang tidak terdengar jelas. Aku terus berusaha memahami apa yang disampaikannya.
Tugas Elma selesai. Iya berjalan menuju singgasananya. Dengan badannya yang kurus dan bungkuk itu ia mulai menjadi bahan olok-olok.
“Eh tanda tangannya Ma,” kali ini giliran Ferry melawak sambil menyodorkan kertas dua lembar dan sebauh bolpoint faster yang menurutku sumpah sama sekali tidak lucu! Lagi-lagi tawa membahana seluruh isi kelas. Elma hanya pergi sambil mengacuhkan Ferry. Lagi pula kalau aku jadi Elma pasti aku tidak akan diam begitu. Tidak tahan! Kerap kali dicemooh tetap saja tidak melakukan perlawanan. Batin tertekan pastinya. Pasti Gusti dan Ferry puasnya bukan main. Mereka berdua selalu kompak dalam hal membully.
* * *
Ciri-ciri korban bullying.
Tak perlu sang anak bercerita bahwa ia sering dipukuli. Cukup bercerita bahwa sang anak dikucilkan atau diasingkan malah disisihkan dari pergaulan.
Mataku nanar. Kutatap sekali lagi layar monitor di warnet langgananku itu. Tubuhku terkulai lemas. Kaget tiada karuan. Aku mulai berusaha mengatur napas. Membenarkan kembali posisi tempat dudukku. Dikucilkan? Aku! Itu aku! Dulu aku juga sempat mengalami hal seperti itu. Malu rasanya. Sedih. Bingung. Depresi. Tidak percaya diri. Sulit berkonsentrasi dan berpikir jernih. Ciri-ciri itu! Aku!
Ternyata selama ini. Aku salah menganggap Elma. Sifat orang berbeda-beda. Aku supel. Tidak sulit menarik perhatian teman-teman. Sedangkan Elma tidak memilik sifat supel. Susah bersosialisasi. Aku anggota OSIS, Elma bukan. Aku ketua Tim Mading, Elma bukan apa-apa. Tapi aku salah. Aku tahun lalu sama seperti Elma. Tidak bisa bergabung dengan temanku yang popular. Hanya bersahabat dengan yang itu-itu saja. Apa karena aku tidak pernah mengikuti mode terbaru? Apa karena aku tidak pernah mengikuti trend rambut terbaru? Tidak memakai softlens? Sampai aku bertemu dua sahabat yang merubahku. Apa bedanya aku dengan Elma. Tidak ada sama sekali. Aku juga tertekan. Dulu aku menafsirkan bahwa aku diatas Elma. Elma tidak ranking aku iya. Aku supel Elma pendiam. Aku salah! Sadarkan pikiranku, Tuhan.
Kukedipkan mataku beberapa kali. Tanpa buang waktu aku segera mengopyartikel tersebut dalam flashdiskku. Kuklik End. Lalu kubayar semua biaya netku.
* * *
“Siap lo persentasi?” tanya Giovanni meyakinkan.
“ Mudah-mudahan. Eh, jangan lupa sama yang gue bilang tadi ya.”
“Kelompok selanjutnya. Kelompoknya Anendya,” suara bu Theres berhasil membuatku menjadi panik seketika.
“Gio jangan lupa!” Dari kejauhan, Gio mengacungkan jempolnya.
“Saya persilahkan penyaji menyampaikan garis besar makalah.” Seketika jantungku berdetak lebih cepat dari sebelumnya. Giliranku menyadarkan dan membuat perubahan pada remaja masa kini.
“Terima kasih atas kesempatan yang diberikan moderator. Saya akan menjelaskan tentang bullying.” Kuklik tombol space, segera laptop menunjukkan halaman selanjutnya pada power pointku. “Mungkin agak sulit mencari padanan kata bahasa Indonesia yang tepat untuk mendefenisikan bullying. Secara sederhana, bullying merupakan penggunaan kekuasaan untuk menyakiti seseorang atau kelompok. Masih sedikit orang yang mengerti tentang bullying.Padahal saya yakin pasti banyak sekali remaja sekarang yang sering melakukannya. Ciri-ciri pelaku bullyimg adalah sebagai berikut…” Aku menjelaskan dengan sebaik mungkin agar semua perhatian tertuju padaku.
“Mungkin peserta ada yang ingin menyampaikan saran, kritik, pendapat atau pertanyaan?” Suara Febriant kali ini tidak membuatku gugup tapi malahku nanti-nanti. ‘Ayo Gio! Cepat!’ hatiku berseru.
“Terima kasih atas kesempatan yang diberikan moderator. Saya Giovanni. Saya kurang mengerti dengan definisi bullying yang tadi penyaji sampaikan. Bisakah anda menjelaskannya dalam bentuk contoh? Terima kasih,”
“Terima kasih pertanyaan dari saudari Giovanni. Dimohon penyaji menjawab.”
“Baik. Pasti anda semua mengetahui Gusti.” Gusti bingung dan pasti ia protes dengan pernyataanku. Matanya yang belok dan hampir keluar itu menatapku kesal. “Kerap kali ia meledek Elma,” Kali ini Elma yang bengong. Bola matanya diputar untuk mengerti maksudku. “Kita sendiri tidak tahu penyebabnya. Tanpa Gusti ketahui Elma sering menangis. Dampak yang Gusti berikan pada Elma sangat besar. Elma sering tertekan. Muram. Tapi kita sendiri? Mengapa kita tidak perduli pada Elma? Apa karena kita merasa kita lebih di atas Elma. Gengsi? Tahukah anda semua? Jika anda sudah menunjukkan sikap seperti ini berarti kita juga sudah melakukan tindakan bullying. Mari tunjukkan perubahan yang mendasar pada diri kita sebagai generasi yang sadar akan kekurangan bangsanya,”
Tepuk tangan terdengar jelas. Semua murid tercengang. Ada yang beberapa berbisik.
“Bullying….. Bullying!” Makian Gusti pada Elma. Jengkelnya aku terus memarahi Gusti dari kejauhan. Mukaku masih sangat jutek. Kelas menyemburkan tawa. Aku benar-benar dengki padanya. Ternyata usahaku tidak membuahkan hasil
* * *
Kutarik ujung sabukku ke kiri agar posisinya tepat di tengah sembari menunggu Gisela yang tampaknya berperang dengan bau super sedap, kamar mandi.
“Lagian Elmanya juga sih. Harusnya Elma tuh nggak usah mikirin hal kecil gitu. Gue aja dibawa enjoy. Diledek secuil gitu aja repot.”
“Dasar sifatnya susah. Dari Tuhan udah gitu. Mau diapain lagi.” Langkah sepatu dua sahabat Elma perlahan kian tak terdengar. Aku memikirkan pernyataan mereka. Tepat tidak tepat, tetapi tidak dapat diabaikan juga.
“Ayo Nen. Jangan kelamaan. Nanti kayak Linda lho nyanyi kicir-kicir.” Aku pergi dengan masih meninggalkan beberapa pertanyaan menggantung.
* * *
“Bu Theres lagi sibuk. Kita dikasih tanggung jawab dan kebebasan biar pelajaran Budi pekerti ini nggak kosong. Yang jelas semua anak-anak harus kerja! Gue mau nyuruh mereka semua jelasin impian mereka, satu-satu di depan!” Memang si brilliant ini tidak pernah kehabisan akal!
“Setuju!!!” dukung Giovanni
“Ok… Ok… Ehem… Teman-teman perhatiannya dong,” Gisela mulai beraksi bersama seksi keamanan. “Sekarang kita pengin kalian semua….” Aku terus memikirkan rencana besar untuk mempersentasikan impianku berhubung aku benomor absen awal-awal.
“Yang pertama Agnes.” Agnes maju dan muali menceritakan impiannya. Aku sibuk sendiri.
“Absen 3, Anen.” Mataku terbelalak. Aku maju ke depan kelas dan mulai berceloteh.
“Satu impian yang mendasar, pengin Gusti sadar.”
“Sadar apa? OJP alias Ora Jelas Pisan!!!! Ha! Ha! Ha! Ha! Ha!” Posisiku setara dengan Elma karena lawakan Gusti.
“Absen 7, Elma.”
“Gio bentar. Gue mau ngobrol sama Elma.” Setelah diizinkan Giovanni selaku pemandu acara, aku menarik lengan Elma yang sudah terlanjur maju ke depan kelas menuju ke luar kelas.
“Elma nanti mau ngomong apa?”
“Saya pengin gemuk doang. Biar kalau saya berdiri kuat dan Gusti nggak ngeledekin saya lagi.” Aku tersenyum mendengar harapan kecilnya.
“Ya udah kita masuk yuk. Kamu ke depan kelas ya.”
Kelas gaduh susah sekali ditenangkan. Terutama ketua gank, Gusti. Sulit Elma mendapat perhatian.
“Aku…” Kelas semakin mirip dengan pasar. Aku yang juga berusaha tidak membuahkan hasil. Kasihan Elma tersendat-sendat.
“Aku… Aku…. Aku nggak mau diledekin lagi!” Elma berlari menuju tempat duduknya. Tangisnya pecah sekejap. Semua anak yang suka meledek Elma, membentukkan mulut menyerupai huruf O dan semuanya mematung sesaat.
Elma menunduk sambil menangis tersedu-sedu di tempat duduknya. Aku mendekatinya. Tiba-tiba, ada tangan kurus dan kering ikut menyentuh Elma sembari mengucapkan kata ‘Maaf’. Itu Gusti! Elma tersenyum. Aku benar-benar bangga pada Elma. Ia dapat menyadarkan Gusti dengan caranya sendiri. Bukan karenaku.
Aku dan Elma. Kami sama. Kami satu. Kami tak beda. Kami mempunyai jiwa yang menyatu. Antara Aku dan Elma. Tersisip sebuah rahasia besar dan ruang hampa. Cukup kami yang tahu

No comments:

Post a Comment