Mahwi
Air Tawar di kumpulan cerpen kompas.com
Ia
bergegas. Tangan kirinya menyingkap ujung sarungnya hingga beberapa inci dari
mata kaki. Layaknya seorang penari memainkan satu komposisi. Berlenggak.
Pinggulnya bergoyang ke kanan ke kiri, melangkah pasti sambil menjejaki jalan
setapak perkampungan. Sementara lentik jemari tangan kanannya mengapit sisi
bundelan kain agar tak tergelincir dari kepalanya.
”Tukang bendring
datang….”
Begitulah dulu. Kami.
Anak-anak saat melihatnya dari jauh. Serentak kami meninggalkan permainan.
Menyambutnya dengan gegap gempita sambil berharap ia akan menoleh. Kadang kala,
kami membuntuti dari belakang, membayangkan sebuah baju baru. Tak jarang,
ketika berpapasan, di antara kami berdesakan membisikinya, agar ia mau membujuk
ibu untuk membeli baju dagangannya. Seperti biasa, ia hanya mengangguk disertai
sungging senyum penuh harap. Ketika itulah, kami langsung menggiringnya masuk
ke halaman rumah. Meski sebenarnya, sering ibu kami menyambutnya dengan wajah
cemberut. Tak terkecuali ibuku, yang selalu takut. Bahkan, untuk menyambut.
Tukang
bendring itu mendatangi kampung kami ketika pagi menjelang siang, saat
bapak-bapak kami sedang berada di tegalan. Dan ia, bagi kami serupa seorang
istimewa, yang selalu kami tunggu kehadirannya. Tetapi, sekali lagi, tidak bagi
ibuku.
Ya. Bagi ibuku, ia
tak lebih dari sesosok hantu, yang selalu membuat ibuku ketakutan setiap
mendengar suara sumbangnya melengking parau dari balik pintu. Entah, setiap
kali ia datang, senantiasa menjadi ancaman bagi ibuku. Barangkali, karena utang
ibu belum lunas hingga membuat ibu waswas. Atau ibu khawatir keinginan untuk
berutang baju baru lagi tak terkendali.
Untuk menghindari
kedatangan, dan teriakannya yang sumbang itu. Banyak cara ibu lakukan. Kadang,
ibu segera mengunci pintu halaman dari luar hingga ia mengira, ibu sedang
bepergian. Kadang, ibu segera mengemasi baju-baju basah dari atas jemuran,
serta sandal hingga suasana rumah terkesan sudah lama ditinggal bepergian oleh
penghuninya. Kadang juga, ibu menandai bayangan tubuhnya saat berjalan menuju
rumah kami. Biasanya, bentuk bayangannya lebih panjang. Dan yang khas, kalau
bayangan itu adalah bayangan tukang bendring, adalah dari bentuk bayangan
kepalanya yang lebih panjang dan lebar.
Semua itu ibu lakukan
karena semata-mata ibu malu lantaran tak bisa menepati janji untuk membayar
utang. Pernah juga, pada suatu ketika, saat tiba pada waktu tagihan, dan ibu
tak ada cara lain untuk menghindarinya ke rumah. Pagi-pagi, ketika dari jauh
terdengar lengking anak-anak meneriaki tukang bendring, tanpa ragu-ragu ibu
keluar, dan aku mengira, ibu mau menghindar, namun ternyata tidak. Di depan
pintu ibu berdiri dengan gelisah.
”Ibu mau ke mana?”
tanyaku.
”Menunggu tukang
bendring,” jawabnya tegas.
”Ibu punya uang?”
”Tidak.”
Aneh, bisikku.
Bukannya selama ini ibu selalu menghindar? Dan ketika perempuan tukang bendring
itu sampai di pertigaan jalan kampung, wajah ibu tiba-tiba pias dan tampak
murung. Mungkin ia segera bergegas pulang. Tetapi tidak, ibu tetap berdiri di
situ, dan ketika perempuan tukang bendring itu mulai mendekat, persis di
pertigaan, perempuan itu berbelok ke arah kiri, seketika ibu merasa lega,
sontak mengajakku masuk.
Namun tak lama
berselang, tiba-tiba dari luar halaman terdengar suara sumbang seseorang. Pada
mulanya suara itu samar-samar, tetapi setelah beberapa saat suara itu kian
lantang. Dengan muka pucat dan gemetar, ibu mengintip dari sela lubang pintu.
Di luar, tampak seseorang mondar-mandir.
”Ju, utangmu!”
”Sialan,” umpat ibu.
Selarik cahaya tipis
menyelinap masuk lewat celah-celah jendela.
”Kenapa, Bu?”
”Baju lebaranmu belum
lunas.”
”Ju, buka pintu,”
teriaknya lagi.
Ketika ia sudah
berteriak-teriak, biasanya ibu tak bisa mengelak. Khawatir kalau-kalau para
tetangga lainnya keluar, lalu mendatangi rumah kami, dan mencibir. Untuk
menghindari semua itu, dengan malu-malu ibu terpaksa membukakan pintu. Dan ia,
dengan galak, membentak. Melampiaskan kekecewaannya, yang barangkali sudah
memuncak. Sementara ibu, hanya mengangguk.
2/
Dan kini, sebagaimana
dulu, tukang bendring itu terus bergegas, menapaki jalan setapak. Kemudian
masuk ke sebuah gang sebelum akhirnya dengan ragu memasuki pekarangan rumah
seseorang. Sekilas sungging senyum terkembang.
Di halaman,
orang-orang berkerumun. Mungkin sedang bergunjing. Sementara di tempat yang
lain, di beranda, beberapa perempuan duduk memanjang saling menisik rambut. Dan
ia? Perempuan dengan bundelan sarung di kepalanya tanpa ragu-ragu segera masuk.
”Baju baru…,”
teriaknya, menawarkan barang dagangannya. Sontak perempuan-perempuan itu
menyambutnya.
”Harga?”
”Dijamin.”
Mata perempuan yang
berkerumun terbelalak saat melihat aneka ragam baju baru tergelar di depannya.
Menggoda mata untuk segera memiliki. Tak penting, alasan tak ada uang. Toh,
perempuan yang kini menyajikan baju-baju baru itu dengan gayanya yang khas
memberi mereka kelonggaran, bayaran bisa dicicil seminggu sekali. Meski tak
pasti.
”Murah.” Intonasi
suaranya ditekan. Adalah Lastri, salah satu di antara para perempuan itu,
segera mengambil satu baju berwarna hijau. Sebelumnya, Lastri melirik kepada
para ibu, seakan minta pendapat perihal baju yang dipegangnya hingga membuat
mereka heran. Bagaimana mungkin. Bukannya diam-diam belakangan Lastri juga
menjadi tukang bendring, pedagang baju keliling?
”Las, bukannya….”
”Ini, Bu. Harganya?”
Lastri memotong. Barangkali Lastri cari perbandingan harga.
”Itu baju sudah ada
yang pesan.” Sepasang matanya kembali menatap catatan-catatan tagihan yang
belum lunas. Mengerut dan berucap sinis, Lastri belum melunasi utang-utang baju
sebelumnya. Orang-orang melirik tak senang.
”Sudahlah. Sesama
pedagang, berapa harga baju ini?” ketus Lastri. Perempuan itu tak menjawab. Ia
tahu, Lastri memang belakangan menjadi tukang bendring, meski tidak di
kampungnya sendiri. Bahkan, tak jarang ia mendapatkan laporan bahwa diam-diam
Lastri tak keberatan jika ada seorang lelaki ingin membayar tubuhnya daripada
baju dagangannya.
3/
”Ini hanya cerita,”
bisik ibu, sambil mengintip mereka dari balik jendela. ”Lastri, dan tukang
bendring yang sudah renta itu. Kamu masih ingat namanya, Nak?” tanya Ibu.
”Markoya,” jawabku.
”Ya, Markoya.”
Ia, tukang bendring
itu, Markoya, namanya. Sebagaimana juga dulu, ketika kami masih asik bermain di
belakang rumahnya hingga sore menjelang malam. Kami sambil menunggunya datang.
Tentu, yang tak dapat kulupa sampai sekarang, sejak dua puluh dua tahun
silam—aku meninggalkan kampung halaman. Sepulang dari berkeliling sebagai
pedagang baju bendring, ia suka membawakan kami oleh-oleh jajanan pasar,
kemudian dibagi-bagikan secara rata, sebelum akhirnya menyuruh kami pulang,
agar tidak telat pergi mengaji.
”Besok lagi mainnya.
Sebentar lagi petang,” begitu katanya. Ah, alangkah bijaknya perempuan itu.
***
Dan kini, bersama
ibu, aku hanya mengintipnya dari balik jendela. Ia tampak tergesa-gesa.
Melewati jalan setapak yang teramat terik. Sesekali ia menoleh. Barangkali
kesal dengan sikap Lastri, yang sudah berjanji akan melunasi utang bendring.
Atau dengan ibuku?
”Tak sembarang orang
sekarang boleh mengambil barang dagangannya.”
”Termasuk Lastri?”
Kusingkap jendela, perempuan tukang bendring itu sudah mulai menjauh. ”Kenapa
dengan Lastri, Bu?”
”Senok.” Astaga,
desisku tak percaya dengan ucapan ibu tentang Lastri. Tidak percaya di
kampungku yang sekecil ini ada seorang senok, pelacur. Entah sejak kapan.
Tiba-tiba tanpa ditanya ibu menambahkan.
”Sudah lama ia
berpisah dengan Madrihmah. Lalu, ia menjadi tukang bendring, tapi tidak di
sini.”
”Lantaran?”
”Senok!”
”Dan Markoya itu tak
mau ngasih utang kepada senok?”
”Mungkin ia takut,
bajunya dipakai ngelonte.”
Ya, rasanya sulit
dipercaya kabar, yang baru saja kudengar dari ibuku itu. Bagaimana mungkin,
dalam tempurung kampung sekecil ini hidup seorang senok, dan itu Lastri, teman
sepermainanku dulu. Bukannya ia juga pedagang baju?
***
Sudah setengah hari
Markoya berkeliling. Melewati jalan setapak perkampungan, yang kondisi tanahnya
kelewat gersang. Lelehan keringat tak membuatnya merasa gerah, namun
sebaliknya, ia umpamakan lelehan keringat itu sebagai air peneduh setelah
berjam-jam berkeliling dari kampung ke kampung. Berkunjung dari rumah ke rumah.
Sebagai tukang
bendring, meski kadang hasilnya tak sebanding. Tak membuatnya putus asa.
Menyerah. Bertemu banyak orang jauh lebih penting, begitu ia menjawab setiap
pertanyaan orang tentang pekerjaannya.
”Dagang hanya
sampingan,” ujarnya sambil mengikat antara ujung kain.
Hari sudah menjelang
sore. Tentu, masih banyak orang mesti ia temui. Banyak rumah mesti ia kunjungi.
Ke Brudin, salah satunya, yang tempo hari memesan kain kafan. Kasihan,
desisnya, sambil memelankan langkahnya. Setelah melewati perbatasan kampung.
Kini, ia tiba di sebuah pekarangan rumah Lastri. Ia pun tak heran ketika di
beranda tak terlihat seseorang. Bukannya ini hari sudah sore?
Maka, sebagaimana
sering Markoya lakukan setiap memasuki rumah seseorang, ia berucap salam, lalu
tanpa menunggu jawaban ia bergegas masuk, dan menuju langgar yang terletak di
ujung barat, samping rumah utama.
Markoya duduk
bersandar pada salah satu tiang penyangga. Tak lama berselang, Lastri dengan
tubuh hanya dibaluti sarung hingga setinggi dada. Tampak pada lekuk-lekuk
tubuhnya pasir putih masih melekat, begitu saja datang menyamperi Markoya. Dan
Markoya, dengan berat hati menyambutnya dengan senyum. Satu hal yang tak boleh
dilupakan oleh seorang pedagang.
”Baju baru?”
tanyanya.
”Beberapa.” Lastri
mengambil salah satu baju, bermotif batik.
”Utangmu belum
lunas.” Markoya membuka buku catatan.
”Minggu depan,”
ujarnya, kemudian masuk, dan tak lama berselang Lastri muncul dengan membawa
secangkir kopi. ”Minum dulu.” Markoya tersenyum simpul. ”Sudah ketemu Ke
Brudin?” Markoya menyeduh kopi hangat. ”Tadi Ke Brudin pesan, kalau sampean
datang suruh ke sana.”
”Guru mengaji itu?”
tanya Markoya.
”Ya. Beliau ingin
pesan baju baru untuk dipakai hari Jumat. Kasihan, bajunya cuma satu.”
”Ke Brudin juga pesan
kain kafan,” desisnya lirih.
”Dengan apa ia akan
membayar?”
”Dengan doa.”
”Ngawur. Doa tak
membuat orang kenyang.”
”Buktinya, Ke Brudin
sampai sekarang masih segar bugar.” Seketika Markoya tercengang. Diam-diam ia
membenarkan pernyataan Lastri, meski ucapan itu terasa janggal. Dalam bimbang
ia terusik. Bagaimana mungkin, bisiknya.
”Kenapa?”
”Ke Brudin…,”
desisnya.
”Sudah tua. Tak
mungkin gitu-gituan.”
”Maksudmu, Las?”
”Ngamar,” selorohnya.
”Mulutmu.”
”Lalu?”
”Kain kafan,” suara
Markoya, serak dan serasa berat.
Sore hari di halaman.
Pasir-pasir berhamburan. Pelepah nyiur dan janur seperti malas berayun. Selarik
cahaya senja membentuk garis tipis masuk lewat celah-celah bilik langgar tempat
ia duduk bersandar pada tiangnya, yang miring. Sesekali cahaya senja bergetar
samar, sesamar gerakan kedipan matanya. Dan tak lama berselang, sebuah bisikan
tanpa ia jelang datang, menggiringnya pada sesosok lelaki tua renta. Ke Brudin,
desisnya. Ia hanya menghabiskan waktunya untuk anak-anak, mengajari mengaji,
ilmu dunia dan akhirat, suara Markoya lirih. Mungkin tak lama lagi ajal juga
menjemputku.
”Ah, sudah lama, saya
tak membawakan anak-anak oleh-oleh. Mereka belajar mengaji kepada Ke Brudin.”
”Betul,” spontan
Lastri menyahut.
”Saya harus segera ke
sana,” lekas mengikat ujung kain sarungnya. Dan segera bergegas. Tapi sesaat ia
kembali dan bertanya.
”Baju koko?”
”Baju koko untuk
shalat,” Lastri menahan tawa.
”Ya. Saya
segera ke sana. Utangmu minggu depan.” Dan Lastri. Entah, seperti mukjizat lain
muncul mengusik. Selepas Markoya, tukang bendring itu menghilang di pekarangan,
tiba-tiba Lastri merasakan sesuatu yang aneh, dan teringat, pernah menjanjikan
Ke Bruddin kain kafan.
No comments:
Post a Comment