Oleh Djenar Maesa Ayu
di kumpulan cerpen kompas.com
Waktu menunjuk pukul
tujuh. Di sudut kafe ketiak saya berpeluh. Namun tak bisa mengeluh. Kecuali
pada ponsel yang suaranya tak juga melenguh.
Dua belas jam yang
lalu ada yang mengaku akan datang. Yang saya harapkan selalu di kafe itu senyumnya
akan mengembang. Ketika melihat saya. Karena berdekatan dengan pujaan hati,
katanya. Biasanya kami akan menghabiskan waktu dengan percakapan. Saling
bertatapan. Saling bertukar harapan. Harapan untuk bisa merapat dan berdekapan.
Di suatu tempat yang jauh dari kegaduhan.
Namun, sebenarnya,
hati saya selalu gaduh. Ketika di atas tubuhnya saya mengaduh. Karena
setelahnya saya akan mengeluh. Bertanya, ke manakah hubungan ini akan berlabuh?
”Kenapa
perlu dipertanyakan, Sayang. Kita sedang berlabuh ke sebuah ketidak-tahuan yang
memabukkan.”
”Hah?!”
Saya bukan orang yang
mengerti bahasa isyarat. Apalagi kalau itu mengandung makna filosofis berat.
Saya cuma tahu karena saya merasa. Bukan karena teori-teori yang tercantum
dalam buku-buku yang pemikir sepertinya biasa baca. Saya hanya mau mencinta.
Apakah lewat buku-buku bermartabat itu baru cinta bisa dicerna?
Ia selalu menyebutkan
nama-nama terkenal yang saya tidak kenal. Ia selalu menyebutkan nama-nama yang
bahkan di dalam kepala saya pun tak akan lama mengental. Badiout? Platoy? Badut
yang letoi, begitu yang selalu ada di dalam kepala saya tercantol. Bukan karena
pemikiran mereka tentang kebenaran yang tidak saya pahami. Tapi lebih karena
setiap kali melihat badut yang letoi, saya merasa tak sampai hati.
Saya tidak pernah
habis pikir mengapa ada karakter semacam badut di sirkus. Rata-rata mereka
sebenarnya berbadan kurus. Bermuka tirus. Hanya kosmetik di mukanya
memberangus. Dan buntalan di perutnya yang besar membungkus. Sehingga ia
kelihatan lucu dan mungkin bagus. Bagi mata orang-orang tua yang membawa
anak-anaknya hanya untuk sejenak melupakan haus. Haus hiburan. Haus
kebersamaan. Haus tertawa bersama dalam suasana kekeluargaan. Padahal mata
anak-anak itu mungkin bisa melihat apa yang ada di balik mata badut-badut. Mata
yang bersungut. Dan mulut yang merengut di balik riasan begitu lebar dan
memerah di mulut.
Salah satu mata
anak-anak itu, adalah mata saya. Mungkin di antara banyaknya anak-anak itu,
hanya saya satu-satunya. Melihat badut yang itu-itu saja di setiap pertunjukan
sirkus apa pun dan di mana pun juga. Badut yang letoi. Letoi yang adalah
seperti tak bersendi dalam bahasa asli Jakarta. Dan selalu ada garis merah di
bawah mata mereka seperti air mata. Jadi saya tidak pernah mengerti mengapa
mereka menertawakannya. Bahkan sampai sekarang, ketika usia saya menginjak
dewasa.
Menertawakan
kesedihan. Menertawakan kebersamaan. Menertawakan keadaan merekakah yang
terpaksa datang bersama sanak keluarga hanya atas nama kekeluargaan?
Menertawakan diri mereka sendiri. Dan untuk itu ada harga yang harus mereka
beli?
”Hahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahhahahahahahahaha.”
Akhirnya saya tertawa
lepas sebelum ia menjawab reaksi saya. Sangat lepas melebihi tawa saya melihat
badut-badut letoi di sirkus. Berikut binatang-binatang yang tidak seharusnya
diberangus. Sangat sangat lepas melebihi tawa-tawa dengannya yang sudah hangus.
”Kenapa kamu ketawa,
Sayang? Saya kan udah bilang, kalau kamu mau jadikan anak kita, sekarang
saatnya. Saya tidak akan bisa kasih anak ke kamu lagi mengingat umur saya sudah
lima puluh tahun sekarang. Tapi, saya tidak bisa jamin apakah saya bisa
tanggung jawab secara material.”
Kupu-kupu melebarkan
sayapnya tepat di depan bebungaan di mana kami duduk. Ia pun melebarkan
jangkauan tangannya di mana tangan saya sedang diam merunduk. Mencoba meredam
tawa saya yang sudah terdengar seperti orang mabuk. Tenang gerakannya sangat
saya tahu sebenarnya memendam rasa amuk. Karena itu segera saya kibaskan tangan
itu berpura-pura menghalau nyamuk.
”Kamu…”
”Hah?!”
Saya memotong
kalimatnya. Persis seperti apa yang dilakukan badut-badut ketika berada di atas
arena. Berteriak ketika ada yang mengolok-oloknya. Terjatuh. Mengaduh. Berlari.
Tanpa berani memaki. Menghilang ke balik panggung. Disertai dengan sorak-sorai
dan tawa menggunung.
Sorak-sorai itu yang
mengingatkan saya atas kutipan-kutipan yang disebutkan ia dari nama-nama
pemikir. Membuat saya mencibir. Karena ada letupan kembang api di kepalanya.
Dan warna-warni serpihan kembang api itu jatuh ke bahunya. Ia tidak pernah
mengetahuinya. Maka, ia tak merasakannya. Ketika serpihan kembang api itu
melumatnya. Bahkan ketika ia berkata,
”Kenapa perlu
dipertanyakan, Sayang. Kita sedang berlabuh ke sebuah ketidak-tahuan yang
memabukkan.”
Tapi di manakah
sekarang ia?
”Hah?!”
Terkejut saya ketika
bahu ditepuk seseorang.
”Boleh saya ambil
bangku yang tak terpakai?”
”Hah?!”
Saya tidak bisa
menentukan. Saya sudah menunggu dua jam dengan perut kram akibat pengguguran.
Namun ia tak juga datang. Tapi apakah saya harus menyerahkan bangku kosong di
sebelah saya ke seseorang? Seseorang yang membutuhkan bangku tambahan di
mejanya karena ia bersama banyak teman tak terkecuali perempuan?
”Boleh saya pakai
bangkunya, Mbak?”
Saya menatapnya.
”Maaf, ada yang saya
tunggu.”
”Waktu?”
Waktu menunjuk pukul
tujuh.
No comments:
Post a Comment