Pages

Tuesday, January 24, 2012

Cerpen: Sehelai Kain Kafan

Mahwi Air Tawar di kumpulan cerpen kompas.com
Ia bergegas. Tangan kirinya menyingkap ujung sarungnya hingga beberapa inci dari mata kaki. Layaknya seorang penari memainkan satu komposisi. Berlenggak. Pinggulnya bergoyang ke kanan ke kiri, melangkah pasti sambil menjejaki jalan setapak perkampungan. Sementara lentik jemari tangan kanannya mengapit sisi bundelan kain agar tak tergelincir dari kepalanya.
”Tukang bendring datang….”
Begitulah dulu. Kami. Anak-anak saat melihatnya dari jauh. Serentak kami meninggalkan permainan. Menyambutnya dengan gegap gempita sambil berharap ia akan menoleh. Kadang kala, kami membuntuti dari belakang, membayangkan sebuah baju baru. Tak jarang, ketika berpapasan, di antara kami berdesakan membisikinya, agar ia mau membujuk ibu untuk membeli baju dagangannya. Seperti biasa, ia hanya mengangguk disertai sungging senyum penuh harap. Ketika itulah, kami langsung menggiringnya masuk ke halaman rumah. Meski sebenarnya, sering ibu kami menyambutnya dengan wajah cemberut. Tak terkecuali ibuku, yang selalu takut. Bahkan, untuk menyambut.
Tukang bendring itu mendatangi kampung kami ketika pagi menjelang siang, saat bapak-bapak kami sedang berada di tegalan. Dan ia, bagi kami serupa seorang istimewa, yang selalu kami tunggu kehadirannya. Tetapi, sekali lagi, tidak bagi ibuku.
Ya. Bagi ibuku, ia tak lebih dari sesosok hantu, yang selalu membuat ibuku ketakutan setiap mendengar suara sumbangnya melengking parau dari balik pintu. Entah, setiap kali ia datang, senantiasa menjadi ancaman bagi ibuku. Barangkali, karena utang ibu belum lunas hingga membuat ibu waswas. Atau ibu khawatir keinginan untuk berutang baju baru lagi tak terkendali.
Untuk menghindari kedatangan, dan teriakannya yang sumbang itu. Banyak cara ibu lakukan. Kadang, ibu segera mengunci pintu halaman dari luar hingga ia mengira, ibu sedang bepergian. Kadang, ibu segera mengemasi baju-baju basah dari atas jemuran, serta sandal hingga suasana rumah terkesan sudah lama ditinggal bepergian oleh penghuninya. Kadang juga, ibu menandai bayangan tubuhnya saat berjalan menuju rumah kami. Biasanya, bentuk bayangannya lebih panjang. Dan yang khas, kalau bayangan itu adalah bayangan tukang bendring, adalah dari bentuk bayangan kepalanya yang lebih panjang dan lebar.
Semua itu ibu lakukan karena semata-mata ibu malu lantaran tak bisa menepati janji untuk membayar utang. Pernah juga, pada suatu ketika, saat tiba pada waktu tagihan, dan ibu tak ada cara lain untuk menghindarinya ke rumah. Pagi-pagi, ketika dari jauh terdengar lengking anak-anak meneriaki tukang bendring, tanpa ragu-ragu ibu keluar, dan aku mengira, ibu mau menghindar, namun ternyata tidak. Di depan pintu ibu berdiri dengan gelisah.
”Ibu mau ke mana?” tanyaku.
”Menunggu tukang bendring,” jawabnya tegas.
”Ibu punya uang?”
”Tidak.”
Aneh, bisikku. Bukannya selama ini ibu selalu menghindar? Dan ketika perempuan tukang bendring itu sampai di pertigaan jalan kampung, wajah ibu tiba-tiba pias dan tampak murung. Mungkin ia segera bergegas pulang. Tetapi tidak, ibu tetap berdiri di situ, dan ketika perempuan tukang bendring itu mulai mendekat, persis di pertigaan, perempuan itu berbelok ke arah kiri, seketika ibu merasa lega, sontak mengajakku masuk.
Namun tak lama berselang, tiba-tiba dari luar halaman terdengar suara sumbang seseorang. Pada mulanya suara itu samar-samar, tetapi setelah beberapa saat suara itu kian lantang. Dengan muka pucat dan gemetar, ibu mengintip dari sela lubang pintu. Di luar, tampak seseorang mondar-mandir.
”Ju, utangmu!”
”Sialan,” umpat ibu.
Selarik cahaya tipis menyelinap masuk lewat celah-celah jendela.
”Kenapa, Bu?”
”Baju lebaranmu belum lunas.”
”Ju, buka pintu,” teriaknya lagi.
Ketika ia sudah berteriak-teriak, biasanya ibu tak bisa mengelak. Khawatir kalau-kalau para tetangga lainnya keluar, lalu mendatangi rumah kami, dan mencibir. Untuk menghindari semua itu, dengan malu-malu ibu terpaksa membukakan pintu. Dan ia, dengan galak, membentak. Melampiaskan kekecewaannya, yang barangkali sudah memuncak. Sementara ibu, hanya mengangguk.
2/
Dan kini, sebagaimana dulu, tukang bendring itu terus bergegas, menapaki jalan setapak. Kemudian masuk ke sebuah gang sebelum akhirnya dengan ragu memasuki pekarangan rumah seseorang. Sekilas sungging senyum terkembang.
Di halaman, orang-orang berkerumun. Mungkin sedang bergunjing. Sementara di tempat yang lain, di beranda, beberapa perempuan duduk memanjang saling menisik rambut. Dan ia? Perempuan dengan bundelan sarung di kepalanya tanpa ragu-ragu segera masuk.
”Baju baru…,” teriaknya, menawarkan barang dagangannya. Sontak perempuan-perempuan itu menyambutnya.
”Harga?”
”Dijamin.”
Mata perempuan yang berkerumun terbelalak saat melihat aneka ragam baju baru tergelar di depannya. Menggoda mata untuk segera memiliki. Tak penting, alasan tak ada uang. Toh, perempuan yang kini menyajikan baju-baju baru itu dengan gayanya yang khas memberi mereka kelonggaran, bayaran bisa dicicil seminggu sekali. Meski tak pasti.
”Murah.” Intonasi suaranya ditekan. Adalah Lastri, salah satu di antara para perempuan itu, segera mengambil satu baju berwarna hijau. Sebelumnya, Lastri melirik kepada para ibu, seakan minta pendapat perihal baju yang dipegangnya hingga membuat mereka heran. Bagaimana mungkin. Bukannya diam-diam belakangan Lastri juga menjadi tukang bendring, pedagang baju keliling?
”Las, bukannya….”
”Ini, Bu. Harganya?” Lastri memotong. Barangkali Lastri cari perbandingan harga.
”Itu baju sudah ada yang pesan.” Sepasang matanya kembali menatap catatan-catatan tagihan yang belum lunas. Mengerut dan berucap sinis, Lastri belum melunasi utang-utang baju sebelumnya. Orang-orang melirik tak senang.
”Sudahlah. Sesama pedagang, berapa harga baju ini?” ketus Lastri. Perempuan itu tak menjawab. Ia tahu, Lastri memang belakangan menjadi tukang bendring, meski tidak di kampungnya sendiri. Bahkan, tak jarang ia mendapatkan laporan bahwa diam-diam Lastri tak keberatan jika ada seorang lelaki ingin membayar tubuhnya daripada baju dagangannya.
3/
”Ini hanya cerita,” bisik ibu, sambil mengintip mereka dari balik jendela. ”Lastri, dan tukang bendring yang sudah renta itu. Kamu masih ingat namanya, Nak?” tanya Ibu.
”Markoya,” jawabku.
”Ya, Markoya.”
Ia, tukang bendring itu, Markoya, namanya. Sebagaimana juga dulu, ketika kami masih asik bermain di belakang rumahnya hingga sore menjelang malam. Kami sambil menunggunya datang. Tentu, yang tak dapat kulupa sampai sekarang, sejak dua puluh dua tahun silam—aku meninggalkan kampung halaman. Sepulang dari berkeliling sebagai pedagang baju bendring, ia suka membawakan kami oleh-oleh jajanan pasar, kemudian dibagi-bagikan secara rata, sebelum akhirnya menyuruh kami pulang, agar tidak telat pergi mengaji.
”Besok lagi mainnya. Sebentar lagi petang,” begitu katanya. Ah, alangkah bijaknya perempuan itu.
***
Dan kini, bersama ibu, aku hanya mengintipnya dari balik jendela. Ia tampak tergesa-gesa. Melewati jalan setapak yang teramat terik. Sesekali ia menoleh. Barangkali kesal dengan sikap Lastri, yang sudah berjanji akan melunasi utang bendring. Atau dengan ibuku?
”Tak sembarang orang sekarang boleh mengambil barang dagangannya.”
”Termasuk Lastri?” Kusingkap jendela, perempuan tukang bendring itu sudah mulai menjauh. ”Kenapa dengan Lastri, Bu?”
”Senok.” Astaga, desisku tak percaya dengan ucapan ibu tentang Lastri. Tidak percaya di kampungku yang sekecil ini ada seorang senok, pelacur. Entah sejak kapan. Tiba-tiba tanpa ditanya ibu menambahkan.
”Sudah lama ia berpisah dengan Madrihmah. Lalu, ia menjadi tukang bendring, tapi tidak di sini.”
”Lantaran?”
”Senok!”
”Dan Markoya itu tak mau ngasih utang kepada senok?”
”Mungkin ia takut, bajunya dipakai ngelonte.”
Ya, rasanya sulit dipercaya kabar, yang baru saja kudengar dari ibuku itu. Bagaimana mungkin, dalam tempurung kampung sekecil ini hidup seorang senok, dan itu Lastri, teman sepermainanku dulu. Bukannya ia juga pedagang baju?
***
Sudah setengah hari Markoya berkeliling. Melewati jalan setapak perkampungan, yang kondisi tanahnya kelewat gersang. Lelehan keringat tak membuatnya merasa gerah, namun sebaliknya, ia umpamakan lelehan keringat itu sebagai air peneduh setelah berjam-jam berkeliling dari kampung ke kampung. Berkunjung dari rumah ke rumah.
Sebagai tukang bendring, meski kadang hasilnya tak sebanding. Tak membuatnya putus asa. Menyerah. Bertemu banyak orang jauh lebih penting, begitu ia menjawab setiap pertanyaan orang tentang pekerjaannya.
”Dagang hanya sampingan,” ujarnya sambil mengikat antara ujung kain.
Hari sudah menjelang sore. Tentu, masih banyak orang mesti ia temui. Banyak rumah mesti ia kunjungi. Ke Brudin, salah satunya, yang tempo hari memesan kain kafan. Kasihan, desisnya, sambil memelankan langkahnya. Setelah melewati perbatasan kampung. Kini, ia tiba di sebuah pekarangan rumah Lastri. Ia pun tak heran ketika di beranda tak terlihat seseorang. Bukannya ini hari sudah sore?
Maka, sebagaimana sering Markoya lakukan setiap memasuki rumah seseorang, ia berucap salam, lalu tanpa menunggu jawaban ia bergegas masuk, dan menuju langgar yang terletak di ujung barat, samping rumah utama.
Markoya duduk bersandar pada salah satu tiang penyangga. Tak lama berselang, Lastri dengan tubuh hanya dibaluti sarung hingga setinggi dada. Tampak pada lekuk-lekuk tubuhnya pasir putih masih melekat, begitu saja datang menyamperi Markoya. Dan Markoya, dengan berat hati menyambutnya dengan senyum. Satu hal yang tak boleh dilupakan oleh seorang pedagang.
”Baju baru?” tanyanya.
”Beberapa.” Lastri mengambil salah satu baju, bermotif batik.
”Utangmu belum lunas.” Markoya membuka buku catatan.
”Minggu depan,” ujarnya, kemudian masuk, dan tak lama berselang Lastri muncul dengan membawa secangkir kopi. ”Minum dulu.” Markoya tersenyum simpul. ”Sudah ketemu Ke Brudin?” Markoya menyeduh kopi hangat. ”Tadi Ke Brudin pesan, kalau sampean datang suruh ke sana.”
”Guru mengaji itu?” tanya Markoya.
”Ya. Beliau ingin pesan baju baru untuk dipakai hari Jumat. Kasihan, bajunya cuma satu.”
”Ke Brudin juga pesan kain kafan,” desisnya lirih.
”Dengan apa ia akan membayar?”
”Dengan doa.”
”Ngawur. Doa tak membuat orang kenyang.”
”Buktinya, Ke Brudin sampai sekarang masih segar bugar.” Seketika Markoya tercengang. Diam-diam ia membenarkan pernyataan Lastri, meski ucapan itu terasa janggal. Dalam bimbang ia terusik. Bagaimana mungkin, bisiknya.
”Kenapa?”
”Ke Brudin…,” desisnya.
”Sudah tua. Tak mungkin gitu-gituan.”
”Maksudmu, Las?”
”Ngamar,” selorohnya.
”Mulutmu.”
”Lalu?”
”Kain kafan,” suara Markoya, serak dan serasa berat.
Sore hari di halaman. Pasir-pasir berhamburan. Pelepah nyiur dan janur seperti malas berayun. Selarik cahaya senja membentuk garis tipis masuk lewat celah-celah bilik langgar tempat ia duduk bersandar pada tiangnya, yang miring. Sesekali cahaya senja bergetar samar, sesamar gerakan kedipan matanya. Dan tak lama berselang, sebuah bisikan tanpa ia jelang datang, menggiringnya pada sesosok lelaki tua renta. Ke Brudin, desisnya. Ia hanya menghabiskan waktunya untuk anak-anak, mengajari mengaji, ilmu dunia dan akhirat, suara Markoya lirih. Mungkin tak lama lagi ajal juga menjemputku.
”Ah, sudah lama, saya tak membawakan anak-anak oleh-oleh. Mereka belajar mengaji kepada Ke Brudin.”
”Betul,” spontan Lastri menyahut.
”Saya harus segera ke sana,” lekas mengikat ujung kain sarungnya. Dan segera bergegas. Tapi sesaat ia kembali dan bertanya.
”Baju koko?”
”Baju koko untuk shalat,” Lastri menahan tawa.
”Ya. Saya segera ke sana. Utangmu minggu depan.” Dan Lastri. Entah, seperti mukjizat lain muncul mengusik. Selepas Markoya, tukang bendring itu menghilang di pekarangan, tiba-tiba Lastri merasakan sesuatu yang aneh, dan teringat, pernah menjanjikan Ke Bruddin kain kafan.

No comments:

Post a Comment